Melati Putih Taman Hati

Foto: Effendy Wongso, Model: Yesenia Green

“Mama kira kamu sudah cukup umur untuk….” Lagi-lagi Mama ragu merampungkan kalimatnya. Kutangkap sekilas bibir tua itu menyunggingkan secuil senyum. Tak kutahu apa makna dari senyumnya itu. Ia jadi aneh di mataku!

Kucoba meraba-raba apa yang tersirat di balik semuanya yang tiba-tiba terasa asing bagiku. Namun dari tiap detik yang bergulir cepat, tak kutemukan juga jawabannya. Atau, jangan-jangan….

Huss! Kuusir dan kuhalau pikiran yang tidak-tidak, yang melintas tanpa permisi di benakku. Aku sedikit gamang sekaligus geli. Ya, geli. Bagaimana tidak, pikiranku mendadak membayangkan Mama tengah mencari-carikan aku seorang gadis sebagai pendamping hidup. Hah! Pendamping hidup?! Kalau memang benar begitu, berarti kecil-kecil jadi pengantin, dong?

“Mama pikir Faizal sudah pantas mendapatkan seorang pendamping!”

Duuuaaarrt!

Ledakan bom atom yang menimpa Kota Hiroshima dan Nagasaki puluhan tahun silam, seolah menggeletar hebat di dekat telingaku. Aku menganga dan melongo tak percaya. Nyaris kelenger aku dibuatnya!

“Mama bergurau, kan?” Aku tersenyum seringai serupa gelo.

Sontak Mama menggeleng penuh yakin. “Tidak. Mama tidak bergurau, Zal!”

Perlahan menguncup seringaiku disertai helaan napas panjang-pendek. Aku tak pernah akan yakin jika Mama tidak menegaskan sekali lagi, ia tidak sedang bergurau. Tidak.

“Tapi, kenapa, Ma? Kenapa aku harus….” Tak sanggup kuselesaikan pertanyaanku lantaran lidahku seolah menjadi kelu. Kutatap tajam mata Mama. Ingin kulihat dusta yang menggantung di sana. Kuharap itu. Tapi ternyata malah kesungguhan yang mendalam di mata buram itu.

Mama diam. Tapi tak ada tanda-tanda penyesalan yang menyertai setiap gerak-geriknya. Aku betul-betul yakin kalau ia memang tidak sedang main-main.

Kusandarkan punggungku di kursi. Ada baur rasa yang mengaduk-aduk dadaku. Entah apa.

***

“Lho, kok melamun?” Suara lembut itu membuyarkan lamunan dan keterkejutanku atas permintaan Mama tadi sore.

“Eh, uh, tidak,” elakku malu.

“Ah, masa iya tidak,” ia melirik nakal, sedikit bersinar jenaka bola matanya yang bulat bening itu. “Pasti sedang ngelamunin si Dia, kan?”

Kucoba mengenali sosok ayu yang berpakaian modis-praktis di depanku ini dari sela-sela shock yang kualami. Ah, ya-ya. Tidak mungkin dapat kulupa sosok yang satu ini, kecuali bila aku mendadak mengidap amnesia.

“Suster tidak keluar….”

“Jangan terlalu formal begitu. Panggil nama saja.” Ternyata ia membalas. Diucapkannya kalimat nyaris persis seperti yang tempo hari kuucapkan.

Giliran aku yang tersenyum jengah. “Oke-oke.”

“Melati,” ia memperkenalkan dirinya dibarengi uluran tangannya yang halus.

Kujabat erat tangannya itu tanpa bilang apa-apa lagi.

“Masih jaga ibu?” tanyanya, lantas ikut duduk di sampingku di bangku kayu taman Gedung Mawar.

Comment