“He-eh. Habis, adik kencan entah kemana. Malas dan bandel dia,” balasku, menguraikan tawa ringan kemudian.
“Lho, keluarga yang lainnya?”
“Kata Mama, mereka sudah pada pulang ke Bone.”
“Lalu?”
“Ya, saya sendiri yang jaga Mama. Apa boleh buat?”
“Jadi…?”
Aku mendelik. “Eit, kok situ nanya-nanya melulu. Kayak wartawan saja. Bukannya suster?”
Ia tersenyum. Dipamerkannya sederetan giginya yang putih-bersih. Lalu menundukkan kepalanya malu-malu kucing. Kikuk, ia mengelus-elus rambutnya yang hitam sebahu.
“Nah, sekarang saya lagi yang nanya. Kok, Melati tidak keluar? Padahal….” Lekat kupandangi wajahnya yang lancip. Samar tercium aroma pewangi yang dipakainya. Kuhela bau itu dalam-dalam. Bukan lagi bau obat-obatan seperti saat kutemui ia untuk pertama kalinya.
“Oh, penampilan saya yang modis maksud, Faizal?”
Aku mengangguk.
“Oh, kebetulan di asrama suster tadi ada teman asal Papua yang ultah. Jadi, kita merayakannya bersama. Saya sendiri tidak tinggal di asrama. Tinggal di Antang. Masih serumah sama ortu.”
“Oh,” aku mengovalkan bibir. Mencoba menjaring bahan perbincangan agar ia mau berlama-lama di dekatku. “Memangnya malam ini tidak ada acara lain?”
“Maksudnya?”
“Hm, hari ini kan malam Minggu.”
“Tahu.”
“Kata orang, malam ini kan malam panjang.”
“Ho-oh. Tahu.”
“Malam ini kayaknya, gimanaaa gituuu!”
“Ho-oh. Tahu-tahu. Tapi tidak berarti lebih dari dua puluh empat jam, kan?”
Sialan. Ia mempermainkan aku yang tengah bicara serius. Kuulurkan tanganku ke arah wajahnyanya. Pura-pura hendak mencubit tembam pipi yang tiba-tiba menyembul indah di sana. Gemas aku!
“Faizal sendiri, bagaimana?”
Derai tawaku berhenti di akhir pertanyaannya.
“Yah, seperti yang Melati lihat ini. Duduk menyendiri dengan bertemankan nyamuk-nyamuk dan cicak-cicak di atas sana,” jawabku datar sembari mengacungkan jari telunjuk ke arah beberapa ekor cicak yang merayap di eternit atap koridor.
“Memang tida ada yang diapelin?” Alisnya bertaut.
“Jelek-jelek begini siapa yang mau?”
“Ah, siapa bilang? Kamu cukup cakep, kok.” Ia membesarkan hatiku. Dilihatnya wajahku teliti. Seolah menyimak saksama sebuah arca kuno yang entah dari abad keberapa.
Aku tersipu.
“Ho-oh. Benar kok, kamu cakep. Mirip Christian Sugiono,” timpalnya lagi memuji, menyamakan aku dengan salah satu aktor sinetron kondang.
“Ah,” desisku dengan hati yang berbunga-bunga. “Masa?”
“Lho, saya tidak bohong, kok. Swear! Mirip kalau lagi mati lampu!” Ia terkekeh setengah mati.
Sialan!
Ia kembali mempermainkan aku. Naughty girl! Kali ini kuulurkan tanganku untuk mencubit pipinya sungguh-sungguh. Ia mengelak ke belakang. Tapi aku benar-benar gemas. Berhasil kucubit ia. Ia menjerit manja.
Derai tawa kami mereda tiba-tiba tatkala sosok bertubuh gempal punya Mama berdiri di bawah bingkai pintu kamar. Ia menatap kami dengan sorot mata aneh. Bibirnya hambar tanpa senyum.
Comment