Melati Putih Taman Hati

Foto: Effendy Wongso, Model: Yesenia Green

“Itulah tujuan Mama ke Makassar, Zal.”

“Tapi bukan tujuanku kan, Ma?”

“Ah, Zal-Zal. Mestinya kamu sudah kepikir ke arah itu.”

Aku tertawa. “Astaga. Sadarkah Mama?”

Mama tenang-tenang saja menanggapi ketawaku tadi yang seolah mengejek.

“Mama sadar. Karena kamu sudah dewasa, dan merasa perlu memikirkan masa depanmu!” tegasnya dengan berwibawa sekali.

Kugeleng-gelengkan kepala serasa tidak percaya. Dan diam selanjutnya.

“Kamu mau mengerti kan, Zal?” Matanya menatapku penuh harap.

“Aku masih sangat muda, Ma. Baru juga tamat SMA. Apa Mama tidak tahu itu?” sergahku cepat.

“Justru karena itulah Mama ingin kamu menikah. Mama tidak mau masa mudamu berantakan dan tidak terkendali,” alasan Mama.

“O, jadi Mama mau menikahkan aku lantaran ingin mengekangku?!” Sinis kubertanya. Kubuang muka dengan kasar.

“Mama tidak bermaksud begitu, Zal. Mama sayang kamu. Hanya ingin melihatmu bahagia,” tuturnya melunak.

“Oya?”

“Dengarkan Mama, Zal!”

Mama sudah membentak. Itu berarti ia sangat serius dengn rencananya. Tapi aku tidak mau diperlakukan bagai anak pingitan. Aku harus melawan kehendaknya. Harus!

Menyeruak tawa yang kubikin-bikin. “Ma, kok aku kayak menjadi salah satu tokoh dalam roman ‘Siti Nurbaya’, ya?” kataku separuh mengejek. Lantas menguraikan tawa paksa lagi.

“Zal….”

“Iya, Benar kok, Ma. Aku menjadi tokoh protagonis yang dipaksa kawin orang tuanya.”

“Faizal…!”

“Cuma lucunya, yang dipaksa kawin justru tokoh Syamsul Bahri-nya. Bukan Siti Nurbaya.”

“Cukup, Zal!”

Aku terdiam. Tapi tetap kutentang mata Mama yang berkilat gusar. Masing-masing sudah tidak dapat menahan emosi. Kami telah bertengkar. Menyita perhatian pasien-pasien sekamar Mama akibatnya.

“Cobalah mengerti Mama. Semuanya semata-mata demi kebahagiaanmu,” Mama berusaha membujuk. Suaranya kembali melunak.

“Sekaligus menderitakan aku, kan?” selaku berputus asa.

“Tidak,” desisnya lemah. “Percaya sama Mama. Tujuan Mama baik.”

“Tapi aku masih kepingin bebas, Ma!”

“Lantas, apa yang dapat kamu peroleh dari kebebasanmu itu?” Mama kembali tidak sabaran. Amarahnya meletup-letup lagi.

“Tidak ada apa-apa sebenarnya, Ma,” jawabku tak kalah gusarnya. “Cuma paling tidak aku dianggap. Bahwa, Faizal masih punya hak menentukan sendiri gadis pilihannya. Bukannya dijodoh-jodohkan secara kolot begitu!”

“Mama memilih yang terbaik, Zal! Tidak mungkin Mama mau melihat kamu kecewa,” belanya.

“Justru aku sudah kecewa sejak awal Mama mengungkapkan rencana yang sangat spektakuler itu!”

Comment