Melati Putih Taman Hati

Foto: Effendy Wongso, Model: Yesenia Green

Kulihat raut wajah Mama memerah. Bibirnya bergetar. Tangannya yang kokoh terlihat memegang pinggir ranjang. Seolah hendak menyangga tubuh besarnya yang limbung tiba-tiba.

“Sumpah, Zal! Tidak ada maksud lain yang mendasari keinginan Mama itu. Renungilah, buat apa Mama berusaha kemari sampai bersakit-sakit begini? Buat apa Mama memanggilmu datang jauh-jauh khusus untuk….”

“Berkenalan dengan calon pendamping pilihan Mama yang tak ubahnya ‘hama perusak hak asasiku’ itu?!” Kupotong kalimat yang belum sempat dirampungkan Mama.

Mama tersinggung. “Jangan mencela begitu, Zal. Kamu belum melihat gadis itu. Dia baik dan manis. Lagi pula, Mama tahu betul dan yakin sama Tante Erna.”

“Tante Erna?” Bah, siapa pula itu! Aku betul-betul keder atas sikap Mama yang keras dan otoriter.

“Dia sahabat Mama semasa masih gadis dulu. Dia pernah merawat Mama di sini. Sebelum Mama menikah dengan Papamu.”

Aku bungkam serupa bisu. Seluruh perbendaharaan kata yang kuucupkan tak mampu menggugah pendiriannya. Entah harus apa yang kuperbuat.

“Tante Erna dulu adalah suster di sini. Orangnya baik dan luwes. Rentang waktu yang lama memang pernah memisahkan kami. Tapi, sekarang mungkin tidak lagi. Sebab Mama dan Tante Erna sudah sepakat….” Mama menjelaskan panjang-lebar tentang masa lalunya. Bibirnya sesekali merekahkan senyum. Dan aku tahu apa arti semuanya itu. Sekalipun ia tidak menyelesaikan kalimatnya.

Asem!

Sumpah-serapah bergema bertubi-tubi di dalam hatiku. Kusesali di zaman modernisasi ini masih ada juga orang tua yang menjodoh-jodohkan anaknya!

“Ah, rasanya Mama tidak sabaran pingin melihat bagaimana sih rupa putri sulung Tante Erna itu. Pasti cantik kayak ibunya,” Mama seperti bergumam sendiri.

Mendengar celoteh Mama yang serupa penjual obat, jika tidak mengingat durhaka, rasa-rasanya aku ingin menggabruk meja yang ada di sampingku. Biar seisi kamar tahu, Faizal bukan kambing-congek-pingitan! Biar seisi rumah sakit tahu, Faizal bisa menentang acara ‘picisan’ yang sama sekali tidak etis dan tidak manusiawi itu!

“Aha… Mama baru ingat. Tante Erna pernah bilang kalau putrinya itu bertugas sebagai suster juga di sini. Tapi, yang mana orangnya, ya?” Masih bergumam Mama dengan mulut komat-kamit seolah merapal mantra.

Ah, tak peduli ia dokter sekalipun! Pokoknya, aku tidak mau dijodohkan-jodohkan!

“Ah, tunggulah sebentar sore nanti. Tante Erna akan datang membesuk Mama. Sekalian memperkenalkan Melati kepadamu.”

Nyes-nyes!

Darahku berdesir-desir cepat bagai aliran air di Sungai Nil.

“Me-Melati?” gugup aku bertanya.

“Ya, dia putri Tante Erna. Katanya, suster muda di rumah sakit ini,” jelas Mama dengan mata terpicing. Heran melihat kegugupanku.

Mulutku terkunci. Lemas rasanya tubuhku. Kutinggalkan kamar dengan hati perih. Jujur, aku telah jatuh hati kepada gadis itu saat pandangan pertama. Aku suka dia. Sangat suka. Namun, ia hanya akan menjadi melati di taman hatiku!

Mungkin aku kelewat idealis dengan prinsip. Tapi sungguh, aku tidak suka cara Mama itu!

“Maafkan aku, Melati!” bisikku.

Biodata Penulis:

Effendy Wongso, lahir di Bone, 13 Juni 1970. Cerpen-cerpennya tersebar hampir di seluruh majalah remaja nasional. Nominator Lomba Cipta Cerpen Remaja (LCCR) Anita Cemerlang empat tahun berturut-turut, sekaligus salah seorang pengarang paling produktif versi majalah Anita Cemerlang 1996 ini, pernah tercatat sebagai koresponden majalah Anita Cemerlang (1996-1998), pemimpin redaksi majalah Planet Pop (1999-2000), dan Redaktur Pelaksana di majalah Makassar Terkini (2008-2009).

Comment