Asako bertugas dua kali seminggu, bergantian dengan dua rekannya. Mereka menjadi ‘jembatan budaya’ kami dengan Jepang. Asako, yang juga bekerja pada bagian pemasaran perusahaan periklanan di Kyoto, termasuk gadis yang lincah dan supel. Dia berbeda dengan dua rekannya yang kaku. Dalam waktu sebulan saja, ia sudah akrab bersama kami, terutama terhadap saya. Kedekatan saya dengan Asako lebih dari sekadar hubungan antara guru dan murid.
Hubungan kami berkembang menjadi saling pengertian yang lebih jauh. Saya tidak tahu, apakah itu cinta atau tidak. Yang jelas, Asako tidak menginginkan itu. Katanya suatu ketika: Taufiq-san, mohon Anda paham. Saya berharap hubungan kita adalah persahabatan, tidak lebih. Saya tak ingin terluka. Anda bisa mengerti, bukan?
Waktu itu saya tak bisa berkata apa-apa. Saya hanya mengangguk. Saya berusaha mengerti, ada tirai tipis yang mengalangi hubungan kami. Asako sudah mengantisipasi kemungkinan terburuk tersebut lebih awal.
Kini, Asako ada di hadapan saya. Kami saling pandang. Ada getar-getar misterius mengalir dari kedua mata kami.
“Anda membuat saya jengah, Taufiq-san,” Asako tersipu, lalu menunduk malu.
Saya tertawa. “Sudahlah, mari kita cerita yang lain. Tentang salju, misalnya,” ujar saya mencairkan suasana. Asako tersenyum. Ia menawarkan sake lagi. Dan, kami minum bersama sambil duduk di atas tatami.
“Oh, ya! Tentang salju… saya punya cerita tentang itu,” Asako memulai kisahnya. Matanya yang jernih berpijar. “Saya lahir di Kota Nagaokakyo, tepat pada saat salju pertama turun setelah musim gugur di 1970. Orang tua saya karyawan perusahaan elektronik terkemuka di Jepang. Saya anak perempuan pertama dalam keluarga saya. Kedua kakak saya laki-laki. Saya mendapat perhatian dan kasih sayang yang lebih dibanding mereka.”
“Waktu kecil, setiap kali salju turun, Ayah selalu menggendong saya. Kami berdua memandang dari balik jendela yang buram, salju berjatuhan dari langit. Ayah selalu terpesona dengan pemandangan itu. Kadang ia duduk di kursi, memangku saya dan menatap kagum butir-butir salju tersebut sambil membelai kepala saya. ‘Asako, indah sekali salju itu,’ katanya. Kalimat itu senantiasa tergiang di telinga saya setiap kali saya melihat salju turun.”
Asako terdiam sejenak lalu menerawang, mencoba menyeret kembali segala kenangan masa lalu.
“Beberapa tahun kemudian,” lanjut Asako, “setelah saya berhasil menamatkan kuliah di Harvard University, saya mendampingi ayah terbaring di rumah sakit. Pada saat itu, salju baru turun di depan rumah sakit tempat Ayah dirawat. Dengan penuh harap, ia meminta saya membuka tirai jendela rumah sakit untuk melihat butiran salju turun dari balik kaca. Saya memenuhi keinginannya. Dan, malam itu dia meninggal dengan senyum menghias bibirnya,” tutur Asako mengakhiri kisahnya. Matanya berkaca-kaca.
“Cerita yang sangat menarik, Asako! Ternyata kamu memiliki pengalaman dan kenangan mendalam tentang salju,” saya memandangnya terharu.
“Terutama kenangan pahit, Taufiq-san. Masuda, kekasih saya, menyatakan perpisahan kami pada saat musim salju pertama turun, Desember tahun silam,” Asako tiba-tiba terisak. “Dengan ringannya Masuda berkata, ‘Asako, masih selalu ada salju yang turun setiap tahun’. Kemudian dia pergi begitu saja, tanpa kabar apapun. Hingga kini….” kata Asako lirih. Air matanya mulai berlinang.
Comment