Salju di Kyoto

Foto: Istimewa

Saya tidak tahan untuk tidak memeluknya. Saya lalu mengambil sapu tangan dan menyeka air matanya.

“Apakah saya terlalu cengeng dan sentimental, Taufiq-san?” Asako bertanya dengan bibir bergetar.

Saya tersenyum dan menjawab seraya menepuk pundaknya,” Asako, mengekspresikan kesedihan itu alamiah. Setiap orang, termasuk saya, pasti memiliki masa lalu yang pahit. Oke, kita tak usah bercerita tentang salju. Gantian, saya yang akan bercerita tentang kampung halaman saya.”

Asako mengangguk, matanya yang redup mulai berbinar. Saya pun bercerita tentang Indonesia, kampung halaman saya. Tentang keindahan masa kecil saya bermain bola di atas petak sawah yang mengering dengan telapak kaki telanjang. Mandi beramai-ramai di sungai, dan sapi peliharaan saya, Panjul, yang akhirnya dijual Ayah ke Pak Paimin untuk membiayai sekolah saya ke kota.

Saya mengisahkan kesedihan saya ditinggalkan Panjul. Saya membayangkan dia dipotong, dicincang, dibuat soto daging dan satai. Asako tertawa geli melihat ekspresi wajah saya ketika memamerkan gaya tukang daging dengan wajah dingin sedang mencicang si Panjul.

Saya mengakhiri kisah saya sambil memandang Asako yang tersenyum. Dalam keredupan lampu, saya melihat wajahnya bersinar cantik sekali. Malam semakin larut. Saya pamit pulang ke hotel saya yang letaknya tidak jauh dari suite apartemen Asako dengan berjalan kaki.

Saat mengenakan jaket, Asako tiba-tiba berdiri di hadapan saya, dekat sekali. Tatapannya misterius. “Taufiq-san, arigato. Terima kasih,” katanya pelan. Ia lalu mencium pipi saya. Saya terperangah kejutan yang tidak terduga itu.

“Oyasuminasai, Asako-san. See you tomorrow,” saya berkata kemudian berbalik pergi meninggalkan Asako yang masih berdiri terpaku di depan pintu apartemennya.

Sejak saat itu, hubungan saya dan Asako makin dekat. Asako selalu menemani saya mengunjungi daerah-daerah pariwisata terkenal di Kyoto. Kami pergi ke vila Kerajaan Katsura yang memiliki tata arsitektur etnik yang menarik. Termasuk perkampungan film Toei Uzumasa yang ditata apik bersuasana zaman feodal yang kental. Saya berusaha menjaga jarak dengan Asako.

Saya menghormati komitmen yang sudah ia berikan. Meskipun untuk itu saya harus memendam ketertarikan saya kepadanya dari hari ke hari. Pada saat saya terakhir berada di Negeri Sakura itu, kami berjalan berdua menyelusuri daerah Kawaramachi, salah satu pusat perbelanjaan terkenal di Kyoto. Kami lalu duduk di salah satu sudut restoran sembari menyantap tempura dan minum bir.

Kami memandangi orang yang lalu lalang di hadapan kami. Mereka seolah tak perduli musim dingin dengan timbunan salju yang menggumpal di mana-mana.

“Taufiq-san, rasanya… saya sudah jatuh cinta kepada Anda!” Asako tiba-tiba menyentak kesunyian di antara kami. Bibirnya bergetar mengucapkan kalimat itu.

“Asako, kamu menganggap hal itu suatu kekeliruan?” Saya memandangnya tak berkedip, dan meletakkan kembali yakitori yang sudah saya ambil ke piring. Asako menghela napas panjang.

Comment