“Bukan kekeliruan, Taufiq-san. Saya tak bisa mengingkari kata hati saya. Hubungan yang selama ini kita bangun telah menjelma menjadi suatu ikatan yang kuat, yang bagi saya telah memberikan nuansa tersendiri. Anda seorang pria yang memiliki kepribadian menarik, jujur, dan penuh semangat hidup. Mungkin hal itu yang membuat saya tak kuasa menahan perasaan saya,” ucap Asako lirih, nyaris tak terdengar.
Saya terdiam, tak tahu harus berkata apa. Saya lalu melemparkan pandangan kepada orang-orang yang berseliweran di depan jendela restoran tempat kami berada.
“Anda tak perlu merasa bersalah, Taufiq-san. Saya sudah mengetahui, inilah risiko hubungan kita. Saya tak menuntut apa-apa. Lagi pula, sejak awal pertemuan kita, saya sudah menandaskan tidak mau hubungan kita berkembang terlalu jauh. We’re just friend, Taufiq-san. Bila kemudian perasaan cinta semakin berkembang, anggaplah itu suatu intermezo belaka,” Asako berkata dengan suara serak. Ia seolah memendam beban berat. Ditekurinya lantai restoran dengan menundukkan wajahnya dalam-dalam.
Saya segera meraih tanganya dan menggenggamnya erat-erat. “Asako, saya sama sekali tidak mau menganggap hal itu suatu intermezo atau lelucon. Walau kita dipisahkan perbedaan, bagi saya cinta itu adalah bahasa yang universal. Saya tidak akan merasa bersalah jika memendam perasaan yang sama terhadapmu. Ini sesuatu yang wajar dan manusiawi. Apakah… kita harus meninjau ulang komitmen kita, Asako?” Saya bertanya penuh harap, dan menatap mata Asako yang jernih seperti jernihnya Danau Kurobe di Tomaya.
“Taufiq-san … besok Anda harus kembali ke Indonesia. Meninjau ulang komitmen yang telah kita sepakati rasanya sudah terlambat sekarang. Mengenal sosok Anda, meski dalam waktu yang singkat, bagi saya merupakan suatu anugerah yang sangat berharga. Biarlah apa yang telah kita lalui bersama menjadi kenangan manis. Kita jalani saja hidup ini. Bukankah pada akhir musim gugur mendatang salju akan turun lagi?” ujar Asako ringan. Ia lalu tersenyum paling manis yang pernah saya lihat.
***
Hari ini, awal Desember, ketika salju pertama kali turun, saya kembali ke Kyoto. Setelah lima tahun meninggalkannya, masa lalu yang indah bersama Asako kembali membayang. Di manakah dia sekarang? Apakah ia telah menemukan ‘salju baru’-nya?
Sejak saya kembali ke Indonesia, kami sering berkorespondensi lewat surat. Dalam suratnya, ia sama sekali tidak menyinggung tentang hubungannya dengan pria lain. Asako sangat tertutup untuk hal itu. Tapi, hubungan kami hanya sempat berjalan dua tahun. Sejak saya menikah, hubungan kami terputus. Saya pernah mencoba menghubunginya beberapa kali, baik lewat surat maupun telepon, tetapi selalu tak ada jawaban.
Pada saat tiba di Kyoto, saya langsung mendatangi apartemen Asako dulu tinggal. Termasuk perusahaan periklanan tempat dia bekerja untuk mencari tahu di mana dia berada sekarang. Tapi, tak seorang pun memberi keterangan, membuat saya putus asa. Saya tidak tahu di mana Asako berada sekarang!
Saat ini saya berada di Kawaramachi. Saya berdiri di depan restoran tempat kami dulu makan siang, sehari sebelum kepulangan saya ke Indonesia. Saya tidak tahu, kekuatan magis apa yang telah menarik saya kemari. Meja dan kursi tempat kami duduk dulu tidak berubah. Suasana hiruk pikuk tempat perbelanjaan terlihat, meski udara agak dingin dan salju menyelimuti hampir seluruh pelosok kota.
Comment