“Joan Hans Tanamal!”
Suster berbadan gemuk itu datang tergopoh-gopoh. Ia mengacung-acungkan selembar kertas yang sudah menguning buram. Diburainya konsentrasi gadis itu yang tengah mencari suster muda sahabat baru yang diakrabinya enam hari belakangan ini.
“Namanya, Caroline Nathaniel Verbruggen!”
Joan mengangguk semangat. Ia tersenyum sumringah. Akhirnya gadis yang dicari-carinya….
“Caroline Nathaniel Verbruggen. Lahir di Amsterdam, 14 Juli 1926 dan meninggal 6 Agustus 1943 di Moluccas, Nederlands Indisch, sekarang negara itu bernama Indonesia. Perawat angkatan pertama di Dutch Ziekenhuis ini. Gugur dalam tugas Palang Merah Nederland di sana. Orangtuanya yang merupakan dokter, juga tewas terpanggang di sana. Nyaris semua dokter maupun perawat tewas dalam perang Asia Pasifik pada waktu itu.”
Joan terkesiap. Dibacanya selembar kertas tua itu. Ada nama Caroline Nathaniel Verbruggen tercetak dengan tinta hampir pudar di sana. Semacam sertfikat penghargaan atas jasa seseorang. Ditandatangani pada 31 Agustus 1947, HUT pejabat dan pemimpin kerajaan Nederland waktu itu. Ratu Wilhelmina!
“Tapi, jelas-jelas saya bersama dia dalam enam hari belakangan ini kok!”
“Tidak mungkin, kecuali kamu sedang bertemu dengan arwah dia!”
Suster gemuk itu terbahak. Tubuhnya yang bergelambir tampak mengguncang. Joan mumet. Guyonannya tidak ditanggapi. Ia masih sibuk menekuri jalan pikirannya sendiri. Meraba-raba keabsahan pertemuannya dengan suster muda itu. Tidak mungkin ia bermimpi!
“Ta-tapi….”
Suster gemuk itu mengernyit di akhir tawanya. Ia juga merasa heran dengan fenomena yang dialami salah satu pasien di rumah sakit ini. Bagaimana gadis itu bisa tahu ada seorang perawat yang bernama Caroline Nathaniel Verbruggen, yang sudah meninggal puluhan tahun lalu?
Joan masih termangu ketika suster bertubuh besar itu mengedikkan bahunya, meringis dengan mimik gidik, lalu meninggalkan mereka berdua dengan langkah gegas.
Semuanya masih misteri.
Comment