Dunia Kecil di Belakang Rumahku

Ilustrasi cerpen Dunia Kecil di Belakang Rumahku. (Foto: Effendy Wongso)

Helen masih ingat ihwal perkenalannya dengan Siti Zulaikha. Kurang lebih sebulan lalu saat dia hendak berangkat ke sekolah, dia bertemu dengan gadis itu di muka gerbang rumah. Ketika itu dia tengah memulai rutinitas hariannya memulung pada pagi hari.

“Untuk apa kardus-kardus bekas itu?”

“Fungsinya banyak, Kak. Sebagian dijual, lalu sebagian lagi untuk bikin rumah.”

“Rumah-rumahan? Wah, asyik ya? Seperti jigzaw begitu….”

“Bukan rumah-rumahan. Tapi, rumah. Rumah untuk tempat kami tinggal dan berteduh. Atapnya bisa dari seng tua atau plastik terpal bekas, dan dinding-dindingnya ya dari kardus-kardus ini.”

“Hah?!”

“Kenapa Kakak heran?”

“Jadi, kalian tinggal di rumah-rumahan….”

“Rumah. Seperti di seberang kanal itu!”

“Ja-jadi….”

“Jadi kami sekeluarga tinggal berteduh di dalamnya. Tapi, rumah kardus tidak tahan lama. Tiap sebentar harus diganti kardus bekas yang baru. Kalau musim penghujan kardus-kardus akan benyek. Itu tidak seberapa dibandingkan kalau air kanal meluap banjir. Rumah kami bisa terseret. Untung kalau tidak menyeret kami sekalian.”

Keheranannya itu menerbitkan rasa ingin tahu. Tentang rumah-rumah kardus di seberang kanal, belakang perumahan megah rumahnya. Hari demi hari dia menyimak dengan takzim dunia yang tidak lazim baginya. Sama sekali tidak pernah membayangkan ada dunia kecil dengan ratusan bahkan ribuan penghuninya yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Tepat di belakang rumah istananya!

Lalu diakrabinya gadis kecil itu sebagai bagian dari keingintahuannya. Ternyata banyak hal yang tidak diketahuinya sama sekali. Dia telah dibutakan kungkungan tembok tinggi. Yang disibak dengan tirai baku sehingga mempolakan keseragaman yang indah semata di benaknya. Padahal, pada kenyataannya dunia ini tidak seindah apa yang dibayangkannya selama ini.

“Kami tidak pernah tinggal menetap lama. Selalu berpindah-pindah tempat. Kena gusur di sana-sini. Zul capek, Kak!”

Dari persahabatannya dengan gadis cilik itu pula dia dapat merasakan getirnya hidup kaum marginal. Diam-diam dia bersyukur dengan kondisi keluarganya yang mapan sekarang.

Comment