Dunia Kecil di Belakang Rumahku

Ilustrasi cerpen Dunia Kecil di Belakang Rumahku. (Foto: Effendy Wongso)

“Kak Helen kok mau berteman dengan Zul?”

“Memangnya kenapa?”

“Apa tidak risih jalan dengan Zul yang dekil begini?”

“Kenapa harus risih? Memangnya orang dekil tidak boleh punya teman?”

“Tapi, Zul sama sekali tidak punya apa-apa. Justru Zul yang jadi risih kalau begitu.”

“Persahabatan itu tidak ditakar dengan materi. Kamu jangan minderan begitu dong, Zul!”

“Iya, sih. Tapi, Zul kan harus tahu diri.”

“Tahu diri untuk selalu mawas terhadap harga diri memang mesti. Kita kan sama-sama manusia. Jadi masing-masing punya nilai yang sama di mata Tuhan. Kalau orang lain mencibir persahabatan kita, ya biarkan saja. Memangnya Kak Helen pikirin?”

“Tapi, Zul takut Papa dan Mama Kak Helen marah!”

“Kalau tidak berbuat salah, kenapa harus takut?!”

“Tapi….”

“Zulaikha-Zulaikha! Kamu harus pede. Buat apa Kak Helen susah-susah mau mengajar Zul membaca kalau bukan untuk pintar? Kalau sudah pintar kan bisa jadi orang gedean. Seperti Papa dan Mama Kak Helen. Punya perusahaan sendiri.”

“Iya, sih. Tapi….”

“Sudahlah. Tidak ada tapi-tapian. Sekarang, kamu tuh adik Kak Helen.”

“Ap-apa kata Kak Helen?!”

“Kamu adik Kak Helen!”

“Siti Zulaikha adalah adik Kak Helen?!”

“He-eh.”

“Ja-jadi….”

“Jadi kamu tuh tidak usah malu lagi jalan sama Kak Helen. Karena kamu adalah adik Kak Helen.”

Gadis cilik itu sertamerta memeluk tubuh jenjang Helen. Lalu menciumi pipinya berkali-kali seperti biasa. Tak terasa airmatanya menitik. Indah persahabatan dua anak manusia dari dua dunia yang berbeda memang adalah anugerah.

Catatan:

Cerpen pernah dimuat di Majalah Aneka Yess, Jakarta pada 2004.

Comment