Perempuan yang Bersamaku
Embar T Nugroho
MEDIAWARTA.COM – Perempuan itu, entah dari mana ia datang. Dan tidak ada yang tahu kemana ia pergi. Ia hadir ketika senja terkalahkan sang malam. Ketika matahari terlahap habis di ufuk barat. Ketika lembayung berwarna merah saga. Namun ia tidak ada di acara-acara pesta. Atau di acara hajatan dan perwiritan. Tidak ada yang tahu ia tinggal di mana. Tidak ada yang tahu siapa ia, asal-usulnya. Dan tidak ada yang mau tahu cerita tentang ia. Ia bagaikan prenjak yang misterius.
Ia muncul dari balik malam yang sangat dingin. Ketika malam telah diselubungi selimut hitam tebal. Bermandi cahaya rembulan yang redup dan suara binatang malam yang terdengar aneh.
Perempuan itu bergaun merah jambu. Memakai pemerah bibir merah muda dan memakai parfum kembang seribu. Memakai kalung putih bertaburkan batu manik. Rambutnya tergerai panjang. Ia bagaikan bidadari turun dari khayangan.
Malam menggayut. Mengantarkan kembali angin dingin yang beku. Membuat aku meringkuk dalam jaket parasutku.
Malam benar-benar membuatku kalut. Aku bertemu dengan perempuan itu saat pikiranku tengah digeluti sebuah masalah besar dalam hidupku. Ia hadir begitu saja di depanku. Dengan menebar senyum dan memperlihatkan sederetan giginya yang putih bersih. Memamerkan sedikit belahan pada dada dan kemolekan sintal tubuhnya. Bulu matanya lentik dengan bola mata bersinar.
Perempuan itu mendekatiku. Aku memang terpana melihatnya. Ia memang sosok perempuan yang sangat sempurna. Aku menatapnya dengan tajam.
“Jangan menatapku seperti itu,” katanya lembut.
Aku mengerjap, tersadar dari lamunanku.
“Siapa kau?” tanyaku penasaran.
Perempuan itu tersenyum seraya duduk di sampingku.
“Akulah yang telah lama kau nanti,” jawabnya lembut, mencoba merayuku.
Parfum yang menyeruak tercium di hidungku. Aku betul-betul tidak dapat membayangkan parfum apa yang telah dipakainya. Wangi dan teramat wangi. Aku mengerutkan dahiku. Sepertinya ia bisa membaca pikiranku. Saat ini aku memang sangat merindukan seorang gadis duduk di sampingku. Sudah lama sekali aku hidup melajang. Dan kini usiaku hampir berkepala empat. Tanpa ada embel-embel yang pasti. Istri dan anak.
Meski aku ingin sekali menanyakan dari mana ia datang dan di mana ia tinggal. Tetapi pertanyaan itu kukubur dalam-dalam. Aku tidak mau tahu ia datang dari mana, tinggal di mana dan siapa dirinya. Bukankah itu sudah menjadi haknya untuk tidak memberitahu kepada orang lain siapa dirinya?
“Kau kelihatan kusut. Apa yang kau pikirkan?”
“Hidup. Aku merasakan kehidupanku telah sirna,” jawabku pelan.
“Kau tidak boleh berkata begitu. Hidup adalah suatu anugerah yang indah. Manis maupun pahit, mesti kita jalani dengan sebaik-baiknya.”
Perempuan itu membelai pundakku. Sesaat aku merasakan suasana sejuk yang menyeruak di sekujur tubuhku. Tetapi aku tak mau terlarut dalam hal-hal aneh seperti itu. Bukankah itu suatu hal yang wajar, seorang lelaki menggeliat bila disentuh perempuan cantik seperti ia?
Malam semakin pekat. Hawa dingin seakan menguliti tubuhku. Menghantarkan kembali wangi parfum yang menyebar di sekitarku.
Itulah awal semua pertemuanku dengan perempuan itu. Ia muncul dari balik malam yang sangat pekat. Setelahnya, kami bergumul bagai sepasang kekasih di musim kawin. Kami telah kehilangan kalimat untuk sebuah percakapan. Ketika subuh menjelang, ia akan pergi begitu saja sebagaimana datangnya.
Aku merasa tenang berada di sampingnya.
Comment