Aku terjaga dari tidurku. Sesekali mengerjapkan mataku karena sinar matahari pagi. Mataku masih terlihat buram mencari sosok perempuan yang bersamaku malam tadi. Tetapi tak kutemukan. Aku hanya tegeletak di bawah sebuah pohon rindang yang berdaun lebat. Padahal malam tadi, perempuan itu mengajakku singgah ke rumahnya dan tertidur di ranjangnya yang empuk. Aku melihat sekelilingku. Ladang jagung dan sebuah anak sungai dengan airnya yang jernih. Sebuah gubuk jerami dan terbuat dari bambu kuning. Dan sebuah tanah kosong yang tak jauh dari tempatku terbaring.
Aku bangkit bersama kelelahan kemarin. Kemudian memaki kecil dengan umpatan serapah. Mengapa perempuan itu meninggalkan aku begitu saja. Dan meninggalkan aku di sebuah ladang jagung yang sama sekali tidak pernah aku tahu. Atau jangan-jangan ia sengaja mengajaku ke tempat ini agar tidak bisa kembali ke rumahnya? Atau ia ingin merampokku? Merampok?! Apa yang akan dirampoknya? Aku tidak punya apa-apa. Bahkan selembar uang sepuluh ribuan pun aku tidak punya. Aku hanya memiliki harta benda pakaian yang kukenakan diragaku. Tidak ada apa-apa. Aku hanya si Miskin yang baru saja di-PHK pada sebuah perusahaan yang juga di pengujung kebangkrutan.
Aku kembali ke rumah kontrakanku. Aku tinggal sendiri di kota ini dengan sejumput rasa frustrasi. Kuhabiskan malam dengan baur sunyi. Aku tak punya kebiasaan lain selain menikmati rokok di bawah cahaya rembulan sambil memperhatikan asapnya mengepul di udara. Atau mengoceh sendirian dengan botol minuman keras sebelum akhirnya tersungkur di jalanan. Biasanya, sebelum matahari mencipta cahaya, aku sudah lelap di kamar kontrakan.
Senja adalah waktu yang paling nikmat untuk mengutuk apa saja. Aku akan menyumpah sampai mulutku terasa kering dan bergetah. Aku tak begitu mengerti mengapa aku begitu membenci hidup ini. Setelah puas dengan segala caci maki, aku akan meninggalkan rumah dengan gumpalan amarah. Betapa kejamnya dunia ini terhadapku. Dan betapa manisnya dunia ini bagi sebagian orang yang bernasib beruntung, yang dapat hidup dalam gelimang kemewahan. Aku benci ketidakadilan dunia ini!
***
Perempuan itu datang lagi menemuiku. Aku tengah mabuk berat. Beberapa botol minuman keras telah terteguk dan kini bersemayam di lambungku. Aku sempoyongan dengan cegukan yang sesekali terdengar aneh seperti suara katak nan birahi. Dan berbaur bersama ocehan-ocehan yang biasa kulontarkan entah pada siapa. Bahkan, aku tidak tahu siapa nama gadis itu sampai suatu saat ia mengingatkanku lagi!
“Aku Kinanti,” ucapnya.
Comment