Bidadari Kecil

Foto: Istimewa

Ayah sebetulnya tidak memaksaku harus menjadi pengasuh Yaya. Terserah aku saja. Tapi untuk menolaknya, rasa-rasanya aku harus berpikir seribu satu kali. Imbalan jasa yang bakal kuterima nantinya melebihi penghasilan Ayah selama setahun sebagai kurir di sebuah perusahaan jasa pengangkutan barang. Bukan itu saja. Pak Tio bahkan berjanji akan membiayai sekolahku sampai tamat SMA. Jadi apa lagi? Dan pada hari ini pula kuputuskan untuk menerima tawaran Pak Tio itu.

Jujur, aku butuh uang untuk biaya sekolah.

***

Senin, 8 Juli 1996

Pak Tio memintaku tinggal saja di rumahnya. Maksudnya agar aku lebih dekat sama Yaya. Juga supaya aku tidak usah bolak-balik setiap hari dari rumahku ke rumahnya. Jarak antara rumah kami lumayan jauh meski masih satu kota.

Pagi ini aku mulai bertugas sebagai baby-sitter. Ayah mengantarku sampai di muka pintu pagar rumah mewah Pak Tio. Pak Tio sendiri sudah tidak ada sejak pagi tadi, begitu kata salah seorang pembantu wanita setengah baya yang menyambut dan membukakan kami pintu pagar. Ayah pun permisi pulang.

Kujejaki halaman rumah yang berumput bagus itu dengan langkah hati-hati. Kupikir alangkah repotnya mengurus dan memangkas rumput-rumput tersebut. Belum lagi aneka tanaman hias yang memenuhi setengah dari luas halaman rumah yang kupikir seluas lapangan basket. Di sisi kiri-kanan dari halaman rumah terdapat lanskap-lanskap buatan berupa batu dan dinding-dinding tebing pegunungan.

“Nggak… nggak mau!” Ada suara kecil yang melengking dari dalam rumah besar yang dapat menampung kira-kira lima-enam keluarga dengan masing-masing sepuluh anak.

“Ayo, Yaya Sayang. Ma’am dulu baru main sama Rino, ya?” Sekarang ada suara bujukan bernada kesal yang juga berasal dari dalam rumah.

“Nggak mau. Yaya mau main dulu baru makan.”

Kulihat ada sepasang kaki kecil berlari tiba-tiba keluar dari bingkai pintu. Dan tubuh kecil itu hampir saja menabrakku seandainya saja tidak keburu ditangkap dan digendong seorang wanita yang lebih mudaan sedikit ketimbang wanita yang menyambut aku dan Ayah tadi.

“Nggak mau, nggak mau!” Tangan gadis kecil memukul-mukul, sesekali menjambak rambut wanita yang menggendongnya.

“Entar Papa marah,” ancam wanita itu, mempererat gendongan.

“Biarin!” ketus gadis kecil itu tanpa merasa takut.

“Aduh, Yaya, kamu kok nakal sekali, sih?”

Aku tertawa dalam hati melihat tingkah anak perempuan itu. Kelakuannya lebih menunjukkan kenakalan bocah lelaki ketimbang perempuan. Rambutnya cepak. Lurus dan kaku seperti kebanyakan anak laki-laki. Tapi dia manis. Pipinya montok. Matanya agak sayu. Cuma bibirnya yang kurang bagus menurutku. Tebal dan dower.

“Yaya mau Rino,” teriaknya setengah menangis sembari meronta-ronta dalam pelukan pembantu wanita itu.

Comment