Aku menarik napas panjang-panjang. Anak itu mulai lagi beraksi dengan tindakannya yang bisa bikin gila! Untung Papanya kaya. Kalau tidak, mungkin mereka di sana perlu mengganti gelas dan piring kaca dengan plastik.
Sabar! Sabar! Sabar!
Amarahku kutahan-tahan. Kalau tidak mengingat tugasku sebagai baby-sitter-nya, pasti dia sudah kulempar ke bak sampah muka rumah! Bayangkan, kemarin dia datang bermanis-manis kepadaku. Katanya ingin kenalan. Lalu dengan tengilnya dia bersalaman denganku. Tapi… ya, Tuhan. Anak itu mengangsurkan seekor kecoak mati. Ke tanganku. Tentu saja aku menjerit kaget.
“Aduh… Yaya!” Ada teriakan nyaring lagi. Dari dalam rumah. Pasti dari dapur.
“Bukan Yaya yang mecahinnya, Bik Sum,” sangkal Yaya, sama sekali tidak menyiratkan penyesalan.
“Jadi siapa?”
“Tauk.”
“Pasti kamu.”
“Bukan.”
“Nggak mungkin bisa jatuh sendiri.”
Prang!
“Eit… ka-kamu…!”
“Nah, ini baru Yaya yang mecahin.” Dengan entengnya Yaya ngomong begitu. “Tadi, mungkin Rino yang melakukannya.”
Kembali kutarik napas panjang-panjang. Ah, kalau bukan keadaan kami yang mendesak butuh uang, tentu aku tidak akan menjadi pengasuh anak gila itu. Kubatalkan saja. Minggat. Angkat kaki. Angkat koper. Habis perkara.
Tapi setiap mengingat Ayah, dan juga kepercayaan yang telah diberikan oleh Pak Tio kepadaku, maka urunglah niatku untuk kabur.
***
Sabtu, 13 Juli 1996
Aku mulai terbiasa dan merasa kebal menghadapi kenakalan Yaya. Bunyi gelas dan piring pecah seperti irama lagu di gendang telingaku. Kuusulkan kepada Mang Iping, yang ngurus bagian keperluan rumah tangga, untuk ngeborong seluruh gelas dan piring yang dijual di semua toko pecah-belah. Biar anak itu puas sampai mati mecahin gelas dan piring!
Dan hari ini si Badung itu merengek terus agar diajak jalan-jalan ke mall. Sebetulnya itu kewajiban Papanya. Tapi lelaki separo baya itu tidak bisa karena dia ada rapat mendadak di kantor. Rupanya setan kecil itu menuntut. Mau tidak mau akulah yang harus mengantarnya.
Dengan setengah hati akhirnya kubawa dia jalan-jalan tahu kemana dia suka. Kami makan dulu di KFC. Lalu dia minta es-krim di Sweensen’s. Lantas permen cokelat. Boneka. Gambar susun Donal Bebek. Pensil warna. Buku gambar. Dan terakhir dia merajuk minta dibelikan ikan hias, aku lantas bilang bayarnya pakai uang hasil ‘ngejual kamu’ di panti asuhan. Dia takut. Diam. Tidak macam-macam lagi.
“Kak Ika….”
“Ada apa?” tanyaku agak jengkel. Suaraku terdengar ketus. Kupegang tangannya, mengangkat tubuhnya sedikit saat menaiki eskalator naik mall.

Comment