Bocah perempuan itu terus merengek. Dan ia menangis meraung-raung sampai menyita perhatian beberapa pasien kanker yang sedang menunggu giliran untuk menjalani kemoterapi. Serangkaian pengobatan yang kadang-kadang lebih mengerikan dan menyakitkan ketimbang penyakit kanker itu sendiri.
“Hani, nggak boleh rewel! Nanti Oom Dokternya marah!”
“Tapi, Hani mau wig seperti punya Kakak, Ma!”
“Iya, iya. Nanti Mama belikan di mal. Sekarang, Hani diam. Jangan menangis lagi.”
Bocah perempuan itu terdiam. Ia kembali mendekati gadis ringkih di sampingnya. Naik ke atas bangku kayu rumah sakit, lalu membelai rambut palsu Tatiana.
“Hani!” Ibu gadis cilik itu menyergah, berusaha menggebah kelakuan putrinya yang sporadis. “Jangan ganggu Kakak!”
“Nggak kok, Ma!” teriaknya, tidak merasa bersalah. “Hani cuma ingin tahu bagusan mana, rambut palsu atau asli.”
Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya, tersenyum dengan rupa subtil, seolah hendak mengatakan maaf kepada Tatiana. Ia tidak tega mencegah perbuatan riang Hani. Maka dibiarkannya anaknya itu mengucek-ucek rambut palsu Tatiana seperti sedang mencari kutu rambut.
Tatiana tersenyum geli.
“Rambut palsu nggak sebaik rambut asli ya, Kak?”
“Lho, kenapa?”
“Soalnya, rambut palsu nggak bisa ketombean. Kalau ketombean kan bisa dikeramas dan dishampo setiap hari.”
Tatiana terbahak. Wanita muda ibu dari anak itu juga tertawa. Beberapa pasien kemoterapi yang pas duduk di belakang mereka turut tertawa.
“Makanya, Hani nggak takut disuntik sama Oom Dokter. Biar cepat sembuh. Kalau sembuh, rambut Hani kan bisa tumbuh dan panjang seperti punya Barbie!”
“Tapi, katanya tadi pingin pakai wig kayak Kakak?”
“Nggak jadi. Mendingan rambut asli aja. Kalau rambut asli, itu berarti Hani udah sehat. Pokoknya, Hani mau sehat!”
Tatiana menggigit bibirnya. Kerongkongannya memerih. Sama sekali tidak menyangka kalau bocah perempuan jalan enam itu dapat setegar itu menjalani hari-harinya yang tersisa. Ketika Sang Waktu sudah nyaris menghentikan detak-detaknya yang melambat.
Airmatanya menitik.
Dimensi lain Sang Waktu sudah di ambang pintu. Mungkin besok atau lusa, entah, ia sudah tidak berada di planet biru yang hangat ini lagi. Menjelang hari-hari baru dari dimensi lain Sang Waktu.
Sependek apapun waktunya kini, mesti dijalaninya dengan sebaik-baiknya.
Catatan:
Cerpen berhasil menjadi salah satu pemenang harapan Lomba Menulis Cerpen Majalah Kawanku, Jakarta pada 2007, dimuat pada tahun yang sama.
Comment