Bunga terakhir. Empat puluh delapan. Setelah domba dan tahi lalat, kini motif bunga di atas bantal juga sudah habis kuhitung. Satu-satunya bunga yang kusuka hanya sedap malam. Ada seorang lelaki masa lalu yang suka memberiku bunga sedap malam. Kadang diikatnya beberapa tangkai sedap malam dengan pita berwarna putih, kadang ia memberikan sebuah stoples yang penuh berisi bunga itu.
“Pengharum kamar,” katanya.
Entah di mana dia sekarang. Tidak pernah mengajakku pacaran, hanya suka memberiku bunga. Manis sekali. Lelaki yang kini sudah jadi suamiku tidak pernah memberiku sedap malam. Ia pernah memberiku mawar. Warna kuning. Pilihan yang aneh.
Seorang sahabat kemudian berkomentar, “Mawar kuning hanya diberikan untuk nenek yang sedang sakit.”
Saat itu aku sedang tidak sakit dan bukan seorang nenek, karena usiaku masih enam bulan lebih muda dari hari ini.
Sedap malam terakhir. Kenapa aku suka sedap malam? Satu, wanginya luar biasa. Dua, aku suka namanya. Saat bunga-bunga lain hanya mendapat satu nama, bunga ini mendapat dua! Sedap dan Malam. Ia punya nama panjang. Dan nama itu memunculkan imajinasi yang begitu indah. Malam yang sedap pasti bertabur bintang, dengan bulan yang purnama dan kunang-kunang menari kegirangan diiringi suara jangkrik.
Aku pernah punya malam yang sedap. Hanya sekali dalam seumur hidupku. Bintang, bulan, kunang-kunang, jangkrik dan… satu-satunya lelaki yang membuatku bercinta dengan gila, tanpa setitik pun kebohongan, hadir membuat malamku lebih sedap daripada bunga apapun. Ia pergi keesokan paginya. Tak pernah kembali dan membuat malam itu jadi legenda. Hilang. Ditelan bumi. Ah, seharusnya setiap orang pernah mengalami malam sesedap itu, walau hanya satu kali.
Lelaki di sebelah kananku bergerak. Memutar badannya ke kanan dan kini memunggungiku. Semoga ini tidak terjadi kalau dia tidak tertidur. Memunggungiku. Tidak enak bicara pada punggung. Hanya begitu saja ekspresinya. Aku tahu itu karena ibu sering menghambur masuk ke kamarku sambil menangis dan mengadu.
“Ayahmu pergi lagi! Padahal ibu lagi ngomong! Ibu capek ngomong sama punggung.”
Sudah kurang lebih dua puluh tahun terakhir ibu kecapekan. Punggung ayah sih tidak. Masih baik-baik saja. Tiap hari masih kuat bikin ibu capek. Capek, tapi pantang menyerah. Setiap saat ibu terus mencoba bicara pada apapun yang ada di balik punggung. Mungkin berharap di balik punggung masih ada hati. Seperti tiga puluh tahun yang lalu.
Dentangan terakhir. Tiga kali. Jam besar milik kakek dari lelaki yang ada di sebelah kananku tentu tepat waktu. Pukul 03.00. Kini lelaki di sebelahku mulai mendengkur. Aku baru tahu kalau dia mendengkur. Semoga tak bertambah kencang.
Grrroookkkk….
“Cinta….”
Grrrroookkkk….
“Tidak….”
Grrrrrookkkk….
“Cinta….”
Grrrrookkkk….
“Tidak….”
Kuputuskan untuk memperlakukan bunyi yang keluar dari lelaki ini seperti bunyi tokek. Bukan untung-rugi, tapi cinta-tidak. Mungkin aku akan dapat jawaban. Heran, pertanyaan begitu saja kok mesti aku hitung dengan dengkuran? Tapi biarlah, aku butuh sesuatu yang membuatku bosan lalu terlelap. Tapi… lho, kok berhenti? Tidak? Jawabannya TIDAK? Ia tidak mencintaiku? Ibu salah. Atau lelaki di sebelah kananku yang salah?
Comment