“Saya memang masih amatir, Nona Mira, tapi bukan berarti saya tidak dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang profesional, daftar pertanyaan ini sekadar menjadi panduan saya agar arah wawancara kita lebih jelas,” kata saya membela diri dengan nada tajam.
Mira tertawa kecil. Saya merutuk dalam hati.
“Oke, saya minta maaf kalau Anda kurang berkenan. Saya tak punya maksud apa-apa di balik pernyataan saya tadi. Sekadar bergurau, kok. Saya cuma ingin berusaha membuat suasana lebih santai. Anda kelihatannya sangat tegang dan gugup Oh, ya, kita ber-‘saya-kamu’ sajalah. Panggil saja saya Mira,” kata Mira enteng. Tanpa beban.
Saya menghela napas panjang. Kejengkelan masih tersisa. Belum apa-apa ia sudah meremehkan saya. Tapi dalam hati, saya mengakui kecerdikannya menguasai keadaan.
Saya kemudian tidak memperdulikan ‘insiden’ tadi, pertanyaan-pertanyaan saya pun mengalir lancar. Yang mengagumkan, Mira mampu menjawabnya dengan baik dan sistematis. Omongannya padat dan bernas. Hal ini menunjukkan bahwa selain cantik Mira memiliki otak yang cukup encer.
Menjelang akhir wawancara, Mira melontarkan pujian.
“Ternyata, pertanyaan-pertanyaan kamu cukup profesional juga. Bahkan, lain dibandingkan pertanyaan-pertanyaan wartawan yang sudah mewawancarai saya sebelumnya. Kamu lebih jeli melihat sosok Mira sebagai pribadi bukan sosok Mira sebagai artis film. Saya suka itu,” katanya tulus.
“Kamu juga, Mira. Jawaban-jawaban yang kamu berikan menunjukkan siapa kamu sebenarnya. Begitu cerdas dan jujur,” balas saya memujinya. Kali ini Mira yang tersipu. Pipinya memerah. Lagi-lagi saya dibuat terpukau.
“Kapan-kapan kita jumpa kembali. Hasil wawancara ini akan saya berikan kepada Mira. Terima kasih atas kesediaannya. Permisi.” Saya beranjak pamit.
Mira tersenyum manis. Ia kemudian mengantar saya sampai ke pintu gerbang depan rumahnya. Kami berjabat tangan. Sorot mata kami bicara. Di ufuk barat langit merah jingga. Perlahan berubah menjadi merah jambu.
***
Kalau kemudian saya dan Mira jadi sering bertemu. Semata-mata karena kenekatan saya. Saya betul-betul terjerat panah asmara Mira. Sudah menjadi watak saya untuk meraih apa yang saya inginkan. Sengotot mungkin.
Setelah mengantarkan hasil wawancaranya yang dimuat di tabloid ‘Gossip Kita’ dan Mira menyatakan kepuasannya, saya merasa dapat peluang emas. Dan tanpa ampun, kunjungan demi kunjungan pun saya lakukan. Saya tak mempedulikan lagi status sosial kami yang berbeda: ia artis, kaya, dan public figure. Sementara, saya hanya wartawan miskin yang kamar indekos saja sering menunggak.
Mira pun menampilkan sikap tidak keberatan bahkan sangat senang. Saya berusaha tampil apa adanya dan menerima semua itu dengan penuh pengertian. Tanpa sungkan-sungkan, Mira memilih duduk dibonceng nonton ke bioskop atau makan di warung pinggir jalan di atas sepeda motor butut pinjaman dari Joko atau Mas Yono tetangga saya, ketimbang membawa mobil BMW pribadinya. Sebuah sikap bersahaja yang membuat saya makin kagum terhadap sosok Mira.
Comment