Cinta dalam Sepiring Kangkung

Foto: Istimewa

Sebagaimana biasa bila artis agak bertingkah, maka tak ayal lagi ia dijadikan bulan-bulanan gosip. Hal ini juga menimpa diri Mira. Dalam beberapa kejap sejumlah ‘koran kuning’ mulai memuat berita hubungan kami secara vulgar dan blak-blakan. Mira tak ambil pusing, saya pun demikian. Meski belakangan ini beberapa orang rekan wartawan memandang iri pada keberuntungan yang saya peroleh. Untuk sementara saya dan Mira tak memperhitungkan masalah apapun. Semua lancar dan beres. Bahkan Bang Heri dan Pak Sofyan, pemimpin redaksi ‘Gossip Kita’, memberikan dukungan penuh pada gebrakan monumental saya ini.

“Maju terus, Fir. Kapan lagi kita-kita ini punya ipar artis. Siapa tahu malah oplah tabloid kita naik,” demikian kata Pak Sofyan memberi semangat. Saya hanya menyambut gurauan tadi dengan senyum penuh arti.

Sampai malam itu. Saya baru saja melangkah masuk ke rumah Mira, ketika percakapan itu terdengar.

“Wartawan itu profesi tanpa masa depan. Apa yang kamu harap dari dia?” Terdengar suara geledek Pak Sasmita membahana. Saya terpaku di tempat saya berdiri. Bulu kuduk saya meremang. Saya diselimuti perasaan kurang enak.

“Firman baik, Pak. Mandiri dan siap bertanggung jawab. Dia punya keteguhan pribadi dan kematangan sikap yang sangat saya kagumi, Pak. Firman bukan pria yang bisa dianggap rendah,” bela Mira sengit.

Di luar, saya tersenyum getir. Mira sangat membanggakan saya.

“Persetan! Pokoknya, Bapak tak mau lihat kamu bergaul lagi dengan dia, si wartawan kere itu. Titik!” tegas Ayah Mira. Terdengar langkah-langkah kakinya meninggalkan Mira yang isak tangisnya mulai terdengar

Saya menghela napas panjang. Ini sebuah risiko, dan saya sudah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bakal terjadi. Saya telah siap menghadapinya seperih dan sepahit apapun. Meskipun begitu, saya cukup terpukul atas kejadian tadi. Saya memutuskan untuk pulang, agar persoalan tersebut tidak menjadi makin runyam. Sepanjang perjalanan, saya terus memikirkan kelanjutan hubungan saya dengan Mira. Akhir yang tragis, saya membatin. Nelangsa.

***

Sejak prahara tersebut muncul, saya tak pernah lagi berusaha menemui Mira Untuk kasus ini, saya mesti melakukan langkah-langkah yang lebih realistis. Saya tahu posisi saya dan kesulitan Mira.

Hingga suatu ketika, saat saya tengah asyik melahap tumis kangkung di kamar indekos, Mira datang. Matanya menyala.

“Kenapa Bang Firman tidak pernah datang menemui saya?” semprotnya langsung. Saya meletakkan sendok di mangkuk, lalu berdiri dan menatap ke arahnya.

Comment