“Ayahmu, Mira. Saya dengar semua percakapan kamu dengan ayahmu mengenai saya. Saya tak ingin hanya karena dekat dengan kamu, hubungan keluarga kalian retak. Saya tahu bagaimana harus menempatkan diri. Saya bukan apa-apa, Mira. Hanya wartawan miskin. Tak lebih. Saya sadar, terdapat banyak perbedaan antara kita yang tidak dapat dipertemukan.” Saya berusaha menjelaskan dengan tenang.
Mata Mira terlihat mulai memerah. Dia menangis. Saya tak tahan menyaksikannya. Saya lantas mengalihkan perhatian pada langit-langit kamar. Ada cecak bercengkerama di sana.
“Bang Firman terlalu picik memandang masalah ini. Saya tahu, apa yang harus saya lakukan. Saya tahu apa yang terbaik untuk saya. Saya…..” Mira tak menyelesaikan ucapannya. Tangisnya meledak. Saya menggigit bibir.
“Mira, dengar. Apa yang saya lakukan semata-mata demi kepentinganmu, kebaikanmu dan karier cemerlangmu di masa datang. Hubungan kita selama ini, boleh jadi, menyebabkan kamu tak leluasa mengembangkan apa yang telah kamu raih selama ini. Kamu artis penuh harapan Mira.” Saya raih dan meremas tangannya. Saya merasa tenggorokan saya tercekat. Ada keharuan yang membuncah.
Mira menengadah. Matanya yang sembap tajam menghunjam. Saya balas memandangnya. Dengan lembut, saya lalu menyeka butir-butir air mata yang mengalir di pipinya. Dalam diam mengalir sesuatu yang tak dapat dijelaskan. Dia melepas genggaman tangan saya dan berjalan ke arah meja.
“Saya lapar. Masih punya tumis kangkung?” tanya Mira memecah keinginan. Suaranya terdengar putus asa. Saya lalu menyiapkan segala sesuatunya di meja. Mira memang biasa makan di tempat saya. Dia sangat menyukai tumis kangkung buatan saya.
“Lezat dan eksotik,” katanya suatu ketika. Saat itu saya cuma meringis, sebab terus terang hanya menu itu yang dapat saya buat selain menanak nasi dan telur goreng.
Saya menyaksikan Mira dengan lahap menghabiskan hidangan saya yang sangat sederhana. Nasi plus tumis kangkung. Dia terlihat sangat menderita. Wajahnya yang cantik seperti dibaluri kabut. Pekat dan suram. Saya trenyuh.
Mira mengakhiri prosesi makannya dengan meneguk segelas air putih. Saat saya beranjak untuk membenahi. Dia menyentuh lengan saya.
“Sudah, biar saya, Bang,” katanya. Saya mengangguk. Dengan keanggunan yang sangat alami, dia membenahi meja. Saya terpukau menyaksikannya.
“Tumis kangkung buatanmu tadi betul-betul enak, Bang Firman,” puji Mira tulus yang berdiri membelakangi saya. Ada nada getir dalam kata-katanya.
“Itu cuma soal kebiasaan dan kemampuan meramu bumbu,” jawab saya enteng seraya menyalakan rokok.
Mira tiba-tiba berbalik dan menatap saya lekat-lekat. Saya terkejut.
Comment