Ornamen Musim Salju

Foto: Istimewa

Awan-awan berwarna timah memenuhi langit. Mereka telah jalan berendengan.

“Kok kamu nyasar sampai ke sini?” Sheli mengamati lelaki di sampingnya.

Kukuh masih menyimpan senyum di matanya. “Kamu?”

Hah, lelaki itu menjeratnya untuk bercerita. Ia lari dari Indonesia, dan terbang jauh ke tempat neneknya di wilayah geologis zona perkebunan anggur Jerman, sekitar lima puluh dejarat lintang utara. Pohon-pohon anggur di sepanjang tepi dan lembah-lembah dekat anak sungai Rhein, tak cuma memasungnya dengan nikmat rasa manis dan asam dalam kadar berimbang. Tapi Rhein, jauh-jauh hari diharapkannya bisa melumatkan bilur yang dibawanya berlari. Seperti petani yang memeras anggur ke dalam piala.

Mulut Sheli terkatup rapat kini. Yang terakhir itu dikisahkannya untuk diri sendiri. Tidak bagi yang lain. la tak bisa mencegah datangnya lara saat menyadari Kukuh yang tegak di depannya, yang diharapkannya sebagai tempat melela luka, tak berbeda dengan Bim. Mereka sama-sama laki-laki. Dan untuk makhluk sejenis itu tak ada area tersisa di hatinya untuk semua dalih bernama cinta dan sejenisnya.

“Tak sampai sebulan aku di Rhein. Nenek memameriku cerita tentang kota tua ini,” alihnya kemudian.

Kukuh memandang langit. Mega-mega berenang. Bibir-bibir angin menyentuh lembut permukaan air, dan memagut setiap layar yang berlintasan di Travemunde, kota pantai, anak tercantik kota Lubeck. Kukuh tak mengusik, tak memaksa Sheli bercerita lebih jauh. Kendati, hati kecilnya menuntut bagian kisah yang tersembunyi. Kukuh bersikeras ingin mengupas larikan tabir pada mata murung milik gerbang Holstein itu. Tapi belum sekarang, Kuh! Ajuknya di batin.

Mereka kemudian sibuk merajut hari. Kukuh mengajak Sheli menyusuri lekuk kota tua yang indah dengan sarana pelabuhannya itu. Hampir tiap sore mereka mengaduk-aduk ‘musium terbuka’ itu, berhandai-handai menelusuri kanal-kanal yang mengelilinginya, dan saling memotret. Kukuh cerdas, dengan horizon pemikiran yang luas.

“Gedung ini hadiah dari negara bagian Schleswig-Holstein,” paparnya di depan gedung kesenian dan kongres Lubeck. “Konon, ia seharga 60 juta Mark.” Dipandangnya Sheli. “Kamu tahu kan, kota ini dikenal sebagai metropol kebudayaan di negara bagian paling utara. Setiap tahun, pekan Internationalen Musiktage dan sekitar 60 konser klasik dipergelarkan di sini….”

Sheli terpesona mendengarnya. Seperti jiwanya yang kadang-kadang mendadak gemetar saat menampak sosok Kukuh. la kerap terpuruk pada lindap bayangan mata hitam yang teduh itu. Duh, Mama! Sheli mengaduh di batin. Haruskah kupercaya jika perhatian tiba-tiba memiliki nilai tinggi saat hati mengalami ketersiaan dan keterasingan?

Ia tak hendak menjawab, tak tahu. Tapi Sheli berusaha membangun keangkuhan. Keangkuhan untuk tidak belajar jatuh cinta lagi. Bim telah cukup jadi contoh soal.

Maka, bukan kesalahan besar ketika ia tak mencoba membayangkan lukisan romantik tentang sebuah perpisahan ketika Kukuh ngotot mengantarnya ke bandara, berpuluh hari sesudah lukisan Sheli rampung. la melepas tawa, dan Kukuh membungkamnya.

Comment