“Kak….”
Reina menahan langkahnya ke tempat tidur. Kantuknya yang samar lenyap seketika. Ia terbelalak. Ada gadis cilik tengah menyapanya. Berdiri di belakang pintu kamar, menatapnya dengan wajah kusut. Rambutnya masai menutupi sebagian wajahnya yang pasi.
“Eh, kamu siapa?!”
Ada susupan rasa yang tidak jelas menggelitik sisi hatinya. Aneh. Kenapa bocah itu bisa masuk kemari?! Padahal, ia sudah mengunci pintu kamar. Bahkan dengan tambahan satu grendel kiri bawah pada daun pintu. Tidak mungkin ketiga sahabatnya itu lupa mengunci pintu kamar di dek lima ini tadi ketika keluar makan malam di rest-room kapal. Ia yang memegang anak kunci, kok!
“Namaku Miyoshi Masao,” jawab anak perempuan kurang lebih berusia sembilan itu lunak, nyaris serupa desisan. “Dari Hokkaido.”
“Eh, ba-bagaimana kamu bisa masuk ke kamar ini?!”
“Di luar dingin, Kak. Aku butuh selimut untuk menghangatkan badan!”
Gadis cilik itu belum menjawabi pertanyaan Reina. Malah mengurai dalih tak bersalah bernada lara. Kepalanya menunduk menekuk dada. Bibirnya pucat seperti tembok.
“Ta-tapi, hm… maksudku, kok kamu tidak bersama orangtuamu?! Apa mereka tidak mencarimu?! Kamu tinggal di dek berapa?”
Gadis cilik berbaju lusuh itu menggeleng. “Mereka sudah meninggal! Shigure (4) yang turun terus-menerus tanpa henti selama lima hari telah membinasakan sebagian penduduk kampung. Orangtuaku terseret badai tsunami sampai terlarung di laut Hokkaido.”
“Ya, Tuhan! Ja-jadi…..”
“Aku takut, Kak! Tidak ada yang melindungiku lagi. Aku kesepian!”
“I-ya, ya! Ta-tapi bagaimana kamu bisa berada di atas kapal ini?!”
Gadis cilik itu masih menunduk. Sama sekali enggan menjawabi pertanyaan Reina.
Ada suara menguap membelah keheningan.
“Rei, kamu ngapain?” Ajima mengucek-ucek matanya dari seberang tempat tidurnya. “Ngomong sama siapa, sih?!”
Reina mengalihkan wajahnya ke arah Ajima yang masih menguap, separo tertidur dan terbangun. Sedari tadi sahabatnya yang bertubuh paling jangkung itu cuma mendengkur. Sehabis santap malam tadi, ia langsung melayang ke busa empuk tempat tidur. Padahal, ia beserta Yumi dan Bunzo tadi jalan-jalan ke geladak. Menikmati semilir angin laut yang sejuk membuai serta gemintang yang basir di langit malam. Kedua anak itu malah kerasan di atas geladak, dan lebih memilih menebar jala gosip sampai fajar ketimbang turun ke kamar dek lima untuk beristirahat.
“Uh, kamu mengganggu orang tidur saja! Padahal, aku sudah nyaris dicium sama Hideaki Takizawa (5)!” Ajima masih ngedumel. “Eh, sejak kapan sih kamu mengidap penyakit igau begitu?”
Reina termangu begitu ia memalingkan wajahnya kembali. Gadis cilik itu tiba tiba lenyap dari hadapannya. Bulu kuduknya sontak berdiri. Ia merinding ketakutan. Menyisakan sekelumit tanda tanya di benaknya.
“Lho, ma-mana bocah perempuan itu, Ajima?!”
“Bocah perempuan apaan?! Mimpi kali kamu, ya?”
“Ta-tadi… aku bicara dengannya!”
“Kamu mengigau!”
“Tidak! Barusan dia berdiri di belakang pintu kamar kita, kok. Di sana!”
“Sudahlah, Rei. Kamu kecapekan karena sedari pagi hingga sore tadi mutar-mutar geladak seperti ikan-sapu dalam akuarium. Makanya, kamu mengigau seperti orang gokil, bicara sendiri. Nah, sudah. Sekarang kamu tidur. Jangan ganggu mimpiku lagi. Karena aku mau melanjutkan sweet dream-ku bersama Hideaki Takizawa!”
Reina masih termangu. Kekagetannya belum lenyap meski dua patah kata dari Ajima tadi, sweet dream, dapat dijadikan lelucon untuk memancing hormon tawa bila digubah menjadi wet dream!
“Ajima…!” Dan ia kembali kemekmek dengan wajah pucat.
“Ada apa, sih?!”
“Di… di be-belakangmu! Han-hantuuuu!”
Reina menggabruk pintu kamar. Menghambur keluar setelah berteriak ketakutan. Gadis cilik itu muncul lagi, tepat berdiri di belakang punggung Ajima!
Ada darah mengalir dari sepasang matanya yang aneh!
Ajima mendongak setelah berbalik untuk melihat. Ia menjerit histeris sebelum pandangannya mengabur dan gelap. Lantas terlentang pingsan di atas tempat tidur.
Comment