Pulau Hokkaido masih sejauh tujuh mil. Sudah tidak terlalu jauh. Tapi Reina dan Ajima sudah tidak tahan lagi. Siang ini mereka sudah bertekad untuk meninggalkan kapal Olive Maru. Apapun yang terjadi!
Tentu saja nakhoda tua kapal, Yato Hayashi, tidak mengindahkan keinginan mereka. Membuang sauh untuk merapat di dermaga pulau-pulau kecil terdekat sangat riskan dari bahaya. Rencana navigasi sudah terpola mengarah ke Hokkaido semata. Jadi sampai menangis darah pun kedua anak itu memohon, lelaki berambut putih itu tetap bersikeras untuk berangkat hanya ke pulau tujuan.
“Kalian bisa turun dengan melompat dari kapal ini. Tapi, jangan salahkan saya kalau hiu-hiu di bawah sana kegirangan karena mendapat umpan daging segar!”
“Uh, untung kemarin malam kita tidak turun ke kamar. Kalau tidak, ih… pasti kelengar juga seperti Ajima karena melihat hantu bocah itu!” cerocos Bunzo mengedikkan bahu dengan mimik ngeri.
“Yato-san, hantu itu….”
Reina nyaris menangis karena kapal tidak mungkin berlabuh secepat dambanya. Ia masih menyimpan trauma terhadap sepasang mata berdarah hantu gadis cilik di kamarnya kemarin. Dengan setengah memohon, dia menceritakan semua kejadian miris semalam. Tentang penampakan hantu gadis cilik yang mengeluarkan darah dari matanya!
Lelaki itu berdeham berat. Menghisap cerutunya dalam-dalam. Matanya yang kelabu tampak menyipit.
“Hantu gadis cilik itu bernama Miyoshi Masao!”
“Ya, Tuhan!” Reina tersentak, mundur sejengkal tanpa sadar. Memang benar nama itu yang diucapkan hantu gadis cilik di kamarnya kemarin.
“Ke-kenapa Yato-san bisa tahu?!”
Nakhoda tua itu merapatkan jaketnya. Kembali menghisap cerutunya dalam-dalam. Memandang horizon pagi yang menghampar biru. Pandangannya seperti menerawang.
“Tiga tahun lalu anak itu diketemukan tewas di atas geladak!”
“Te-tewas?!”
“Ya. Anak itu meninggal karena kedinginan, meringkuk dengan tubuh membeku biru di salah satu sekoci kapal. Tampaknya dia naik ke kapal ini secara diam-diam.”
“La-lalu?!”
“Akhirnya pemilik kapal ini, Olive Honjo, beserta pejabat daerah Hokkaido mencari identitas jasad bocah itu. Tidak berapa lama, akhirnya diketahui kalau anak itu merupakan salah satu pengungsi bencana banjir yang melanda Hokkaido!”
“Pe-pengungsi banjir?!”
“Iya. Anak itu melarikan diri dari rombongan korban evakuasi banjir.”
“Untuk apa?!”
“Kurang jelas. Tapi, saya kira dia memang belum tahu apa-apa. Dipikirnya dengan mengikuti kapal Olive Maru ini, yang ketika itu berangkat menuju Tokyo melintasi laut Hokkaido, maka dia dapat menemukan jasad kedua orangtuanya yang terseret banjir sampai ke laut Hokkaido ini.”
“Ja-jadi….”
“Sampai saat ini anak itu kadang-kadang menampakkan arwahnya. Saya juga tidak tahu kenapa. Tapi, mungkin arwahnya masih penasaran dengan pencarian jasad kedua orangtuanya, salah satu keluarga korban bencana banjir tiga tahun lalu di Hokkaido. Ah, kasihan anak itu!”
Reina menggigit pelepah bibirnya. Hatinya tersentuh mendengar penjelasan lelaki tua itu tentang hantu gadis cilik di kapal Olive Maru. Ketakutannya terbungkam menjadi haru. Rupanya ada kisah getir yang dialami gadis cilik itu semasa hidupnya. Sungguh beban derita yang tak tertahankan di usianya yang belia dan kanak-kanak!
Dari kejauhan Pulau Hokkaido nampak berupa noktah hitam di matanya. Ia menarik napas lega. Sebentar lagi, mungkin dalam bilangan jam, kapal sudah akan merapat di sana.
“Eh, kalian bersiap-siap, ya? Hokkaido sudah dekat! Setibanya di sana, langsung cari jinja (6). Ingat, jangan kemana-mana sebelum ke jinja!” Reina mewanti-wanti.
“Lho, untuk apa? Eh, memangnya kita ke Hokkaido mau jadi pertapa apa?” protes Bunzo.
“Iya, nih. Masa rencana liburan mau diganti dengan acara bertapa, sih?!” timpal Yumi.
“Jangan protes!” sergah Reina, mengibaskan tangan seperti kebiasaannya. “Pokoknya ikut saja. Aku tidak ingin arwah Miyoshi Masao mengikuti dan mengganggu acara liburan kita. Makanya, aku mau mendoakan dia. Supaya arwahnya tenang di alam sana. Tidak penasaran lagi!”
“Oo.” Nyaris ketiga sahabatnya itu mendesis dengan kalimat serupa.
“Yuck. Jadi, bagi yang tidak setuju silakan tunjuk tangan. Tapi, aku tidak dapat menjamin nyawa kalian kalau diuber-uber sama arwah penasaran lagi!”
Ketiga gadis sahabatnya itu sertamerta berangkulan ketakutan mendengar kalimat ancaman tadi. Reina terpingkal, ngakak lepas tanpa kendali seperti kebiasaan latennya. Yato Hayashi tersenyum. Lalu ikut terbahak bersama.
Sementara itu, kapal Olive Maru terus melaju membelah ombak di laut Hokkaido.
Keterangan:
(1) Maru = Kapal.
(2) Geisha = Penari wanita Jepang, penghibur tetamu di tempat perjamuan dan lain sebagainya.
(3) Sinshe = Guru, cendekiawan.
(4) Shigure = Hujan yang turun pada akhir musim gugur.
(5) Hideaki Takizawa = Nama salah seorang artis populer Jepang.
(6) Jinja = Kuil tempat memuja dewa dan dewi dalam agama Shinto.
Comment