MEDIAWARTA, MAKASSAR – Pengembangan energi bersih dan ramah lingkungan menjadi suatu keniscayaan yang harus segera disiapkan pelaku industri di Tanah Air agar produk yang dihasilkan tidak mendapatkan sanksi pajak karbon.
Apalagi, pemerintah juga telah berkomitmen akan mengurangi emisi karbon untuk mencapai Net Zero Emission pada 2060.
Sebagai salah satu perusahaan yang terus didorong pemerintah untuk segera beradaptasi dalam menghadapi tren transisi energi, PT Pertamina (Persero) terus mengenjot proyek-proyek energi hijaunya, dari hulu hingga hilir.
Pada tahun 2019, Pertamina telah sukses mengimplementasikan B30 yang bersumber dari olahan minyak kelapa sawit.
Pada Agustus 2021, Pertamina kembali mencetak prestasi dalam industri aviasi melalui produksi Bioavtur J2.4, sebuah inovasi energi bersih berbasis Bahan Bakar Nabati (BBN) untuk moda transportasi udara.
Kemudian pada tahun 2022, Pertamina sukses mengolah Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO) 100% yang menghasilkan produk Green Diesel (D-100) di kilang Dumai.
Wujudkan Target NZE 2060
Semangat transisi energi yang digaungkan Pertamina juga sejalan dengan target Net Zero Emissions 2060. Tahap awal, Pemerintah Indonesia menargetkan penurunan emisi karbon sebesar 29% dengan mengurangi emisi pada sektor energi sebanyak 314 juta ton setara CO2 (tCO2e) pada 2030.

Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati menjelaskan, bahwa Pertamina berupaya menjaga ketahanan pasokan energi konvensional sekaligus berperan menuju NZE 2060 dengan melakukan dekarbonisasi bisnis-bisnis Pertamina.
Nicke menjelaskan, bahwa melalui Subholding Pertamina NRE, Pertamina juga berupaya melakukan disrupsi dan mengembangkan bisnis-bisnis baru yang fokus pada produk EBT.
“Jadi, pada intinya kami tetap memproduksi produk energi konvensional Pertamina tapi kami melandaikan emisinya. Pertamina juga terus menciptakan bisnis-bisnis baru di bidang EBT,” imbuh Nicke.
Sementara itu, VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso menyampaikan, bahwa sebagai perusahaan energi, Pertamina akan terus mendorong upaya transisi energi di Indonesia.
“Komitmen ini kami realisasikan dengan terus mengembangkan program dekarbonisasi dan inovasi bisnis EBT. Dengan seluruh upaya ini kami yakin Indonesia bisa mencapai target NZE 2060,” ujar Fadjar.
Selain itu, Pertamina juga mendorong transisi energi di desa melalui program Desa Energi Berdikari. Program ini menyasar desa-desa memanfaatkan EBT seperti kincir angin, solar panel, microhydro, biogas, untuk dikonversi menjadi energi listrik. Program ini menyasar desa terisolir di Indonesia.
Namun, daerah yang masih menggunakan PLTD dengan BBM sebagai sumber energinya, Pertamina menerapkan pilar pertama yaitu kilang Pertamina menghasilkan bahan bakar ramah lingkungan. BUMN ini melakukan modifikasi kilang agar menghasilkan minyak ramah lingkungan.
Energi ramah lingkungan untuk menekan gas buang karbon ini juga terus dikembangkan Pertamina dengan lembaga lainnya untuk bahan bakar pesawat (bioavtur). Untuk mengurangi gas buang karbon pada PLTD, kPertamina ikut terlibat pada proyek EBT melalui Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan target 200 megawatt (MW), pengembangan panas bumi, pengembangan energi baru seperti hidrogen, dan lainnya.
Rencana tersebut diharapkan tercapai dengan kapasitas terpasang 10 Gigawatt (GW) sampai 2030. Berbagai upaya tersebut, kata dia, telah menghasilkan pengurangan emisi karbon CO2 sebesar 6,8 juta metrik ton hingga 2020. Pencapaian ini disumbang dari aset minyak, kilang, dan hulu.
“Semua upaya untuk mendorong energi bersih melalui delapan pilar transisi energi berjalan secara terintegrasi dan harmonis. Hasilnya hingga saat ini sudah bisa dilihat dari renewable diesel, PLTS, penggunaan panas bumi, dan lainnya,” imbuh dia.
Pengamat: Kesehatan Lingkungan Dan Menguntungkan
Pengamat Lingkungan Hidup Universitas Hasanuddin Makassar, Prof Anwar Daud mengatakan upaya PT Pertamina (Persero) mengembangkan green energy atau energi hijau akan berpengaruh terhadap kesehatan lingkungan, termasuk mengurangi pemanasan global dan perubahan iklim.

“Harus selalu didukung, karena pengembangan green energy akan berdampak positif terhadap kesehatan dan lingkungan,” katanya.
Oleh karena itu dia berharap Pertamina konsisten dalam pengembangan energi hijau tersebut karena akan menekan emisi seminimal mungkin. “Dengan demikian, juga mengurangi pemanasan global dan perubahan iklim,” ujarnya.
Dia mencontohkan Green Refinery Pertamina, sebagai program strategis nasional maka tingkat produksinya juga harus terus dioptimalkan sehingga target pengembangan biosolar dapat terus berlanjut hingga B100.
Di sisi lain, lanjutnya, pemerintah harus dapat mengembangkan pasar dalam negeri untuk menggunakan green energy, sehingga demand di dalam negeri menjadi besar, baik dalam bentuk biosolar maupun bahan bakar nabati seperti HVO/ Hydrotreated Vegetable Oil yang saat ini sudah dikembangkan oleh Pertamina.
Menurut dia, penggunaan energi bersih adalah sebuah keharusan. Indonesia sudah mencapai “point of no return” dalam perubahan iklim dan ketahanan energi sehingga energi baru dan terbarukan merupakan solusi konkret.
Pertamina dinilai telah menunjukkan komitmen dalam pengembangan green energy, yaitu dengan menjalankan program transisi dari energi fosil ke energi bersih.
Pertamina juga mulai menyisihkan alokasi anggaran, khusus untuk pengembangan energi hijau, di antaranya seperti pengembangan green hydrogen, produk baterai kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV battery).
Selain itu, berbagai produk Pertamina juga mendapat pengakuan dunia. Antara lain Hydrotreated Vegetable Oil (HVO) atau Green Diesel D100. Bahan bakar hijau yang dihasilkan Green Refinery Cilacap ini telah mendapatkan sertifikat International Sustainability and Carbon Certification (ISCC).
Produk yang dikenal dengan branding nama Pertamina Renewable Diesel (Pertamina RD) ini, berkontribusi pada penurunan emisi karbon hingga 65% hingga 70 persen dari bahan bakar umumnya sehingga layak disebut sebagai green product.
Kemudian dari Pengamat Ekonomi, Dr Anas Iswanto Anwar, Wakil Deka Bidang Kemitraan Riset dan InovasI Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Hasanuddin menyatakan energy hijau yang diciptakan pemerintah tentunya lebih menguntungkan dari sisi ekonomi.
“Dari sisi ekonomi lebih menguntungkan, kombinasi energy terbarukan, teknologi penyimpnan, dan bahan bakar akan menyediakan pasokan energy yang andal untuk industri, sektor pariwisata serta untuk pembangunan”, ungkapnya.
Kita lihat saja, Lanjutnya di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan sustainable finance pada tahun 2014 yang sudah di uji coba sampai 2019. Kemudian, baru lahirlah taksonomi hijau.
“Jadi proyek hijau ini baru menggeliat dalam waktu bebera tahun terkhir, tentunya dengan aturan baru ini, kedepan proyek yang berhubungan dengan lingkungan, sosial, maupun tata kelola akan semakin menjamur“, tutur Anas.
Untuk itu pertamina harus terus konsisten dalam pengembangan energy hijau agar pertumbuhan ekonomi bisa tercipta sejalan dengan inflasi yang terkendali, tutupnya.
Comment