Tatiana, Dimensi Lain Sang Waktu

Tatiana, Dimensi Lain Sang Waktu
Oleh Effendy Wongso

MEDIAWARTA.COM – Tidak ada mesin waktu yang dapat membawanya ke alam lain, ke suatu tempat asing yang sangat jauh sehingga ia dapat terbebas dari neraka ini. Tidak ada lorong waktu yang dapat mengirim tubuhnya ke dimensi lain, menyeretnya ke serangkaian kisah dari masa lampau maupun mutakhir sehingga ia dapat terbebas dari rutinitas kemoterapi yang menyakitkan ini.

“Nadya Hans Sasongko!”

Lamunannya tergebah ke langit-langit rumah sakit. Mesin waktu fiktif bentukan imajinasi dalam benaknya melebur oleh satu panggilan nama. Ia menggigit bibir.

Tidak ada hamparan padang rumput yang menghijau indah. Tidak ada kembang beraneka warna dengan semerbaknya yang wangi. Tidak ada pelangi yang dititi tujuh bidadari yang hendak mandi di bumi. Tidak ada hujan meteor yang indah bak kembang api. Dan tidak ada seribu kisah indah penawar lara!

Ia masih duduk tepekur di salah satu bangku panjang ruangan dengan bau formalin yang menyengat. Lalu-lalang para perawat berseragam putih-putih bagaikan birama yang mengalun dalam hidupnya. Dua tahun diakrabinya semua itu dalam gundah batin yang menyiksa. Sangat menyiksa!

Belum gilirannya. Dan ia mengembuskan napas resah setiap kali mendengar nama lain dipanggil masuk ke dalam ruangan sempit yang di benaknya seperti krematorium, di mana kepalanya akan dibakar dengan sinar-sinar laser panas sampai menjadi debu. Ditunggunya perawat jaga memanggil namanya. Tatiana Primeswara!

Saat ini ia hanya dapat terpaku. Detak-detak detik yang mengirama di sepasang gendang telinganya bagaikan litani yang akan mengantarnya sampai ke sebuah gerbang. Dimensi lain dari Sang Waktu.

Ia menghela napas panjang.

Ketidakrelaan tercetus di dalam tangisnya yang sudah tak berairmata. Setiap hari. Setiap waktu. Sampai datang seorang bocah perempuan, menyadarkannya bahwa dimensi lain Sang Waktu bukan hal yang perlu ia takuti lagi. Dunia itu penuh warna. Dunia lain dari dimensi lain Sang Waktu yang selayaknya disambut senyum bak semerbak wangi bunga. Bukannya tangis dan airmata yang senantiasa mengundang bau kematian!

Waktu itu, ada rengekan manja di sampingnya. Dilihatnya seorang ibu tengah bermain dengan putrinya yang baru jalan enam.

“Ma, Om Dokternya nyuntik lagi, ya?”

“Iya, Sayang.”

“Nggak mau, Ma!”

“Harus mau. Biar Hani cepat sembuh.”

“Tapi….”

“Kalau sembuh, Hani bisa main di Dufan lagi.”

“Betul ya, Ma?”

“Betul, Sayang. Sejak kapan sih Mama pernah bo’ongin Hani?”

“Trus kalau habis disuntik, apa rambut Hani bisa tumbuh lagi?”

“Tentu, Sayang. Rambut Hani bisa tumbuh panjang seperti punya Barbie.”

“Hooree… berarti Hani nggak usah makai topi ini lagi! Berarti Hani bisa sisiran seperti Barbie!”

Bocah perempuan itu membuka topi kupluk bergambar Miki Tikus dari kepalanya yang plontos. Dipeluknya wanita muda itu, menggelayut manja di kakinya yang lampai.

Ia menggigit bibir. Setiap Senin adalah neraka baginya. Papa tengah anginkan diri di luar ruangan rumah sakit. Seperti kebiasaannya dari waktu ke waktu. Sudah dua tahun ia menjalani proses yang seperti ritual mingguan ini. Sudah dua tahun lelaki itu menyertai dan mengawalnya ke tempat serba putih ini. Sudah dua tahun ia menjalani terapi kemoterapi atas repertum kanker otak dari dokter yang kala itu dianggapnya kiamat. Sampai pada suatu ketika ia merasa tidak kuat lagi menanggung derita yang menderanya seperti tanpa henti.

Bocah itu tersenyum kepadanya. Naturalisasi yang entah datangnya dari mana. Ia muncul tiba-tiba dalam kepolosan setiap anak. Dibalasnya senyum anak itu dengan tingkah bocah. Mimik senyum yang sebenarnya dipaksakan sebagai balasan. Ia merasa berdosa. Ketulusan dari bocah perempuan itu telah ditunaikannya dengan sandiwara!

Ini ruang tunggu kamar 5B. Di mana semua pasien tampak lunglai seperti bunga yang layu. Embusan napas yang terdengar konstan dan satu-satu, seolah berlomba dengan detak detik dari arah atas tengah bingkai pintu. Jam dinding menggentarkan hati pasien. Mendegupkan jantung mereka. Sampai kapan buliran-buliran waktu itu akan berhenti?!

Tidak ada yang tahu!

Comment