Melati Putih Taman Hati
Oleh Effendy Wongso
Ujungpandang, 1995
MEDIAWARTA.COM – Kujejaki koridor panjang bertegel putih di RS Akademis Jaury dengan hati galau. Rasanya kelelahan masih menyergap benakku. Juga tubuhku.
Dering telepon yang bergetar nyaris sekitar lima jam lalu nun jauh di Bone sana, mau tidak mau memaksa kehadiranku di Makassar ini. Tidak mengenakkan memang. Bahwa aku harus jauh-jauh datang kemari, dan menerima kenyataan yang paling tidak mengenakkan. Mama sakit!
Langkahku lunglai, sekalipun telah kupercepat ayunan kaki. Entah, lantai bagus dan mengkilap yang menghampar bagai kelok-kelok ular berwarna putih itu, seolah memiliki gravitasi kuat tersendiri.
Aku serupa linglung. Kutolehkan kepalaku ke kiri dan kanan. Mencari-cari sanak keluarga yang mungkin menjemputku di ambang pintu pagar tadi. Tapi, yang kuharap tak kunjung jumpa. Hanya terlihat beberapa orang tua dan wanita setengah baya lalu-lalang membawa termos air panas beserta sekeranjang buah. Kutebak, mungkin keluarga pasien yang lagi jaga.
Malam telah larut. Kulirik arloji yang melilit di pergelangan tangan kiriku. Jam sepuluh tepat. Jadi tidak mungkin pembesuk.
Bimbang aku terpaku di muka pintu kamar F Gedung Mawar. Inikah kamar Mama? Aku ragu. Lewat horn tadi tak kutangkap jelas kalimat yang menyebutkan lokasi kamar Mama. Yang kudengar persis, mereka menyebut kata mawar. Ya, Gedung Mawar kamar F. Itu kalau aku tak salah dengar. Mestinya aku harus jeli menangkap kalimat yang mereka lafalkan. Tapi kecemasan yang sangat membuatku demikian gugup, sehingga lupa menanyakan lokasi kamar Mama. Untunglah mereka yang mengingatkan dan menyebutkan.
Lalu, benarkah ini kamar Mama?
“Eh, Suster….” Refleks kupanggil sosok mungil-ramping berbusana putih-putih yang melintas di depanku.
Ia menghentikan langkahnya. Dan tersenyum ramah kemudian. “Selamat malam. Ada apa?” sapanya lembut dan bertanya.
“Suster tahu kamar Ny Nina Adinata?” Kusebut nama Mama.
Ia berpikir. Keningnya tampak berlipat. Menghadirkan kerut-kerut tipis di sana.
“Di Gedung Mawar?” tanyanya dengan bola mata yang mengerjap indah.
“Hm, kayaknya.”
“Sakit apa?”
“Komplikasi maag. Sedikit tekanan darah tinggi.”
“O,” bibir mungilnya mengoval bagus. Keningnya kembali terlibat. Nampaknya ia berusaha keras mengingat pasien wanita yang kumaksud.
“Coba Anda….”
“Faizal.” Kupotong kalimatnya, mempromosikan namaku. Biar rileks. Tidak formil ber-‘Anda-Anda’ begitu.
“Oya. Coba Pak Faizal….”
Comment