MEDIAWARTA.COM, MAKASSAR – Minat membaca mahasiswa masih sangat kurang, dan hal tersebut membuat Nensilianti, dosen bahasa Indonesia Universitas Negeri Makassar (UNM) merasa sangat prihatin.
“Mahasiswa calon guru di UNM, terutama mahasiswa calon guru bahasa Indonesia seharusnya banyak membaca novel agar mampu melakukan kritikan terhadap karya sastra. Namun, kenyataannya dalam 10 mahasiswa yang saya survei belum tentu ada satu orang yang menamatkan membaca satu novel dalam sebulan,” ujarnya saat ditemui di kantor Usaid Prioritas, Makassar, Kamis (30/6/2016).
Menurut penelitian yang dirilis Central Connecticut University Amerika Serikat (AS) pada Maret 2016, Indonesia merupakan negara kedua terendah di dunia dalam literasi dari 61 negara yang disurvei, hanya di atasnya Bostwana.
Penelitian tersebut juga menyatakan, negara-negara yang masyarakatnya kurang literate atau kemampuan literasinya rendah, cenderung menyukai kekerasan, kurang cerdas, dan kurang gizi.
“Salah satu yang menyebabkan mahasiswa cenderung suka kekerasan dan sering tawuran, juga kurangnya membaca buku,” tegas Nensilianti.
Menghadapi kenyataan tersebut, dosen yang juga Spesialis Pengembangan LPTK Usaid Prioritas ini memfasilitasi program yang ia sebut “Bertukar Novel”.
Setiap mahasiswanya, diminta mengumpulkan satu novel saja. Sesuai jumlah mahasiswa, jumlah novel yang terkumpul untuk setiap kelas rata-rata 37 novel dengan judul yang berbeda-beda.
Seorang mahasiswa yang ditunjuk menjadi sekretaris kelas, mendata semua novel dan memberikan penomoran. Setiap minggu novel-novel tersebut di-rolling antarmahasiswa sekelas. “Mahasiswa-mahasiswa tersebut harus menyelesaikan membaca satu novel dalam satu minggu,” ujarnya.
Mahasiswa juga harus membuat sinopsis dari setiap novel yang mereka baca dan dituangkan dalam sebuah buku yang disebut “Buku Kumpulan Sinopsis Novel”. Setiap sinopsis yang telah diselesaikan, dilaporkan ke dosen dan dosen memberikan paraf.
“Selain itu, sepuluh menit di awal perkuliahan, para mahasiswa harus menceritakan isi novel yang mereka baca dalam minggu tersebut. Hal ini juga dimasukkan dalam penilaian, beber Nensilianti.
Novel-novel inilah yang kemudian ditindaklanjuti mahasiswa sebagai bahan analisis atau kritikan, dengan menggunakan pendekatan kritik sastra yang menjadi bahan perkuliahan pada minggu tersebut.
“Alhasil, sampai pada pertemuan akhir perkuliahan, setiap mahasiswa rata-rata menyelesaikan membaca 12 novel, sinopsisnya, dan juga kritiknya terhadap novel yang dipilih,” imbuhnya.
“Kami berharap, universitas benar-benar mendorong gerakan literasi di tingkat mahasiswa. Pasalnya, dengan banyak membaca, karakter mereka akan lebih terbentuk. Mereka juga akan berpengetahuan lebih luas, yang secara signifikan akan mengurangi kecenderungan melakukan kekerasan dan tawuran di antara mereka sendiri,” tutup Nensi.
Sementara itu, salah seorang mahasiswa, Crisnayanti, mengungkapkan, menambahkan, awalnya aktivitas membaca novel terasa sangat berat. Selain membutuhkan waktu yang cukup lama, pihaknya juga harus bisa mengatur waktu sedemikian rupa agar tugas-tugas perkuliahan yang lain dapat diselesaikan.
Belum lagi novelnya yang rata-rata tebal. Namun, setelah melewati membaca tiga novel, saya jadi “keranjingan” membaca novel. Novel memberikan gambaran manusiawi terhadap kehidupan. Sekarang ini tidak enak rasanya jika dalam sehari saya tidak menyentuh novel. Kebiasaan membaca novel membuat saya menjadi lebih humanis dalam memandang kehidupan,” ungkapnya.
Singgih Wahyu Nugraha/Foto: Singgih Wahyu Nugraha
Comment