Manusia dari Luar Angkasa

Foto: Istimewa

Ada sepenggal kalimat terus-menerus mendengung memenuhi tempurung kepalaku, hingga aku menghapalnya.

“Secepatnya kami menjemputmu. Segenap bangsa menanti takdir kepemimpinanmu. Generasi tercerdas dan lebih bermoral luhur. Revolusi ini harus dihentikan. Korban sudah banyak. Secepatnya kami menjemputmu. Secepatnya….”

Aku terbangun. Dadaku berdebebar-debar tak beraturan. Cuplikan mimpi tadi masih menggelepar-gelepar di ingatanku. Perasaan gamang berkecamuk di lorong-lorong sukmaku. Malam itu aku mengalami derita batin menyayat. Ditindas oleh terkaman berjuta tanya. Siapakah diriku sesungguhnya?!

Aku beranjak dari ranjang. Kunyalakan lampu. Dengan gelisah aku menjenguk cermin. Napasku tersedak. Wajah makhluk itu masih ada. Kini aku lekas tanggap. Wajahku dalam cermin itu persis wajah makhluk yang menghiasi arena mimpiku. Persis!

Tuhan, siapakah aku sebenarnya? Mengapa Engkau datangkan cobaan berat ini pada hamba-Mu? Siapakah mereka… siapakah aku…?

***

Rasanya aku tak bisa menyimpan lebih lama lagi keganjilan-keganjilan yang akhir-akhir ini merongrong ketenteramanku. Hari itu, aku beberkan seluruhnya pada Ibu dan Bapak.

Mereka terkejut sekali. Terlebih-lebih pas aku buktikan.

“Astaga, waktunya telah tiba,” desis Ibu dengan muka haru.

Aku terhenyak. “Maksdu Ibu apa?”

“Ah, tidak. Tidak apa-apa,” kelit Ibu seakan tersentak.

Kebingunganku tumbuh. Aku tak mengerti mengapa ketika kegundahan tengah membelit hatiku, mereka malah semakin memupuknya.

“Bu, Pak, Hery harus tahu arti semua ini?!” Aku coba mendesak.

Bapak mendengus berat. Ibu menoleh ke Bapak. Saling kikuk.

“Perjanjian itu sudah kita sepakati, Bu. Kita tak boleh melanggarnya. Bukankah kita berhutang budi pada mereka….”

“Pak, ada apa sih?” Kesabaranku dihimpit penasaran.

Mata tua Ibu berkilat sayu. “Bapak saja yang cerita.”

Bapak mengangguk. Mendehem. Ia pindah ke sofa tempatku membeku tegang. Duduk di sisiku. Merangkul pundakku, ia bertutur pelan.

“Ry, delapan belas tahun lalu, keluarga kita belum semakmur sekarang. Kami, Bapak-Ibu, masih di Cianjur. Perkebunan cabai shishito yang Bapak kelola bersama Ny Hamada terancam musnah. Cabai khas Jepang yang ditanam di lahan seluas 660 meter persegi itu diserang hama. Seluruhnya. Sulit dipastikan jenis hama apa. Apakah ulat grayak, nematoda, tungau, atau hama thrips. Ny Hamada malah cenderung mengira antranoksa, sejenis penyakit tanaman yang membahayakan. Kami kelimpungan. Meskipun penanaman cabai ini merupakan proyek percontohan yang pertama dirintis di Indonesia, dan prospeknya tidak sebagus pembudidayaan cabai-cabai lokal, Ny Hamada bertekad menyelamatkannya. Para petani yang bekerja satu per satu mulai undur diri. Hanya Bapak yang tetap bertahan. Bersama Ny Hamada, pimpinan proyek itu, kami berpikir keras. Penyemprotan pestisida maunpun insektisida sudah dilakukan. Hasilnya nihil. Sejumlah tenaga ilmuwan rekan Ny Hamada, dari Jepang, kalang-kabut. Mereka menyerah. Dalam semangat yang kian rapuh, kami masih berjuang memecahkan masalah ini. Dalam saat-saat kritis itulah, kami didatangi seseorang.”

Comment