Sepanjang Braga

Foto: Istimewa

Semula, pikiranku sangat sederhana. Seratus lukisan Sepanjang Braga yang dipamerkan di Galeri Soemardja itu aku minta dipindahkan ke galeri keluargaku. Dan karena kini ia milikku, aku bebas memamerkannya kapan saja dan di mana saja  sesuka yang aku mau.

Mungkin aku keliru memilih tempat. Mengapa harus di Bandung? Mengapa pula harus di Jalan Braga? Seolah aku sengaja membaringkan kenangan di ranjang keabadian.

“Lukisan ini sangat bagus,” seseorang – yang kukenal sebagai salah satu manajer Caesar Palace – bergumam di sebelahku.

“Anda… suka?” Lukisan yang hendak digantung itu nyaris terlepas dari tanganku. Lukisan yang menggambarkan suasana Braga di bawah guyuran hujan lebat, ketika seluruh cahaya menjadi pias, dan sunyi demikian meraja. Lukisan yang mengabadikan peristiwa itu: seorang lelaki merunduk mencium….

Jiwaku seketika gemetar.

“Harganya berapa ya, Bu?” Ia bertanya serius.

“Ngnng …,” suaraku gelagapan. “Tidak dijual!”

Ia terperangah, setengah bingung. Sementara aku tiba-tiba merasa diserang migrain. Apakah nanti setiap pengunjung bertanya demikian? Tidak ada price-list di katalog….

Dengan gugup, aku menyapu aula sekali pandang. Di sudut, Feliciano masih mengawasi penataan lukisan sembari berbincang dengan kurator kami. Masih tersisa banyak waktu sebelum pameran dibuka. Tiba-tiba aku ingin lari….

“Aku lapar, mau cari camilan,” dan Feliciano mengangguk tersenyum.

Dan, di sinilah aku – memelihara gelisah. Di Braga Permai. Di salah satu pojok kafe. Hanya ditemani segelas orange juice dan sepotong tiramisu. Alangkah sepi. Serupa kesepian yang menghantu Braga di ujung malam. Ketika kita memuaskan pertemuan terakhir – berabad silam, dan keloneng becak yang melintas tinggal sayup-sayup.

Di luar kafe, sore makin menyusut.

Menyadari gerimis turun lagi, aku merapatkan scarf. Tapi udara yang dingin mengendapkan gigil di batin. Aku meremas tisyu, menghalau gelisah. Entah kenapa, bagiku, rinai hujan selalu mengantar rahasia pengembaraan. Tiba-tiba saja kudengar langkahmu dari masa lalu. Mengetuk-ngetuk trotoar sepanjang Braga, dari ujung ke ujung.

Tanpa jemu.

Seolah tak akan ada lagi malam di Braga sesudah itu.

“Jangan pulang dulu. Tinggallah di Bandung sehari lagi…,” suaramu yang bergetar mengiris sunyi.

“Aku janji, aku akan datang lagi….”

Apakah kini engkau juga akan datang? Kuusap mataku.

“Sepertinya ibu menunggu seseorang?!”

“Aku…,” jiwaku terkesiap.

Di depanku, pelayan kafe berdiri takzim.

“Ada yang mencariku?” Semangatku memijar.

“Belum….”

Kutarik napas. Mataku kini tak sekadar hangat, tapi perih.

“Ia mungkin tidak jadi datang….”

“Mungkin sebentar lagi,” ia berusaha menghibur. “Minumnya mau ditambah?”

“Ng… tidak. Terima kasih,” aku berkemas.

Apakah kenangan itu kini tak bernama? Sementara seluruh episode Braga – episode cinta yang tak pernah sampai – tengah utuh mengisahkan diri di Caesar Palace.

Jika engkau pemilik sejati Braga, akankah engkau datang? Bukankah aku telah memanggilmu? Melalui pengumuman di surat kabar. Melalui wawancara di televisi. Mustahil kamu tidak mendengarnya. Kecuali jika kini kamu buta dan tuli.

Comment