MEDIAWARTA, JAKARTA – Memasuki tahun 2025, isu perubahan iklim dan keanekaragaman hayati tetap menjadi perhatian global. Di tengah tantangan ini, harapan muncul dari delegasi muda Indonesia yang baru kembali dari Conference of the Parties to the Convention on Biological Diversity (COP16 CBD) di Cali, Kolombia, pada November lalu. Mereka membawa pengetahuan baru yang siap diterapkan di komunitas lokal, menjadi penggerak perubahan di tengah masyarakat.
COP16 CBD terbagi dalam dua zona utama: Blue Zone dan Green Zone. Blue Zone adalah ruang utama untuk negosiasi antarnegara dan dialog resmi, sedangkan Green Zone, yang berlokasi di Bulevar del Rio de Cali, dirancang untuk partisipasi aktif masyarakat sipil, LSM, sektor swasta, dan komunitas lokal. Green Zone, yang terbuka untuk umum, menginspirasi aksi nyata untuk konservasi keanekaragaman hayati dan memperkuat suara masyarakat dalam isu lingkungan.
Naomi Waisimon, social entrepreneur asal Papua, merasa terinspirasi oleh pertemuannya dengan komunitas adat dari berbagai negara. “Bertemu mereka membuat saya merasa memiliki teman dalam perjuangan yang sama,” ujarnya. Salah satu sesi yang paling berkesan baginya adalah Net Positive Commitments in Tourism, yang membahas pengembangan pariwisata untuk mendukung ekonomi sekaligus menjaga lingkungan. “Sesi ini seperti suntikan energi untuk melanjutkan pekerjaan kami di Papua,” tambahnya.
Sementara itu, Novita Ayu Matoneng Oilsana, pendiri Komunitas BALENTA, menyebut Green Zone sebagai simbol kedaulatan masyarakat adat. “Di sini, komunitas lokal menunjukkan kekayaan alam dan pengetahuan mereka sebagai bentuk perlawanan terhadap perampasan tanah dan sumber daya,” ungkapnya. Ia kagum dengan kemampuan masyarakat adat Kolombia berbagi pengetahuan lokal yang tak ternilai.
Andi Reza Zulkarnain, Co-chair Young People Action Team (YPAT) UNICEF East Asia and Pacific (EAPRO), merasa terinspirasi oleh keterlibatan lintas sektor. Dalam sesi LAB of Youth Engagement and Participation, ia belajar merancang pendekatan berbasis komunitas untuk melindungi masyarakat terdampak proyek tambang. “Saya belajar memadukan advokasi kebijakan dengan strategi lokal,” katanya.
Selain memperluas jejaring internasional, para delegasi juga belajar dari inovasi pemuda Kolombia, seperti penciptaan ruang publik ramah lingkungan melalui kolaborasi pemerintah dan sektor swasta. Bagi Reza, pengalaman ini membuka pandangan baru tentang advokasi berbasis komunitas dan pelibatan lintas sektor.
Sepulangnya ke Indonesia, para delegasi berkomitmen menerapkan ilmu yang didapat. Naomi berharap komunitas di Papua dapat belajar dari pengelolaan komunitas di Kolombia, sementara Novita berencana mengadaptasi konsep pemberdayaan komunitas untuk wilayah Alor. Reza, di sisi lain, terinspirasi menggunakan teknologi pemetaan untuk mendukung pelestarian hutan bakau di Sulawesi Selatan.
“Pengalaman ini memperkuat komitmen saya untuk mendorong aksi nyata menghadapi perubahan iklim dan pelestarian keanekaragaman hayati,” ujar Reza. Dengan semangat baru, para delegasi muda Indonesia kini siap menjadi agen perubahan di komunitas masing-masing.
Comment