Salju di Hatiku (From Seoul with Love)

Salju di Hatiku (From Seoul with Love)
Oleh Effendy Wongso

“Good afternoon.”

“Good afternoon?”

“May I meet Hyung?”

“Excused me?”

“Hyung. Kim Yong Hyung!”

“Oh, Kim Yong Hyung. Korean best artist, the pop singer?”

“Yeah.”

“Excused me. What your interesting?”

“She’s my best friend. We made appointment yesterday.”

“Just a minute. She’s maybe busy but I can call her at five minute. Sit down, please. Exused me, what your name?”

“Ronny Panggabean. Hm, just call me Ron. Thank you.”

Dengan berbekal bahasa Inggris pasif, saya menyusuri Negeri Jiran ini. Salah satu kota terbersih dan teraman di dunia, Singapura. Dua malam saya menunggu gadis itu dengan takzim. Kesibukannya yang luar biasa sebagai selebritis kelas dunia, menyita nyaris semua waktunya tanpa sisa. Siapa dapat menyangka kalau Kim Yong Hyung yang pernah demikian dekat dengan saya bisa sepopuler begitu. Ini memang nasib baik dia!

Dari luar, melalui flat-speaker yang menempel di langit-langit ruang tamu studio, samar saya dengar ‘Sweet Dream’-nya Jang Na Ra mengalun dengan riang. Ada bohlam merah tepat di tengah atas bingkai pintu menyala. Hei, ada audisi ternyata di dalam studio. Saya termangu. Suara itu tidak asing.

Astaga!

Suara Jang Na Ra. Dia sedang membawakan lagu dari soundtrack Korean TV Drama ‘My Love Pattzzi’, sinetron yang dibintanginya sendiri bersama aktor kawakan Kim Jae Won. Saya suka sinetron itu. Lucu. Jang Na Ra bermain cukup gemilang di sana.

Melalui telepon hotel kemarin, Kim Yong Hyung bilang kalau dia bakal main dengan Jang Na Ra di sinetron jenis serupa. Entah kapan. Tapi untuk saat ini dia masih berkonsentrasi di nyanyi. Jadi untuk sementara ini pula banyak tawaran sinetron yang ditampiknya di Seoul.

Kali ini kedatangannya beserta Jang Na Ra cs ke Singapura merupakan konser tur keduanya setelah Jepang. Sayang, mereka tidak singgah di Indonesia. Jadi, saya terpaksa menguber gadis itu, sekalian mewawancarainya untuk rubrik profil majalah tempat saya magang di Jakarta. Dan Tuhan masih menolong saya. Vakansi sekolah tepat dengan jadwal konser mereka. Semalam-malaman saya berdoa syukur untuk itu!

“Hai, Ron? Sudah lama nunggu?”

Kim Yong Hyung menyapa saya. Dia berjalan dengan gerak gegas, menghampiri saya yang kontan berdiri dari sofa tunggu studio. Gadis itu agak kurusan. Tapi dia kelihatan lebih dewasa. Semakin cantik. Lebih cantik dari fotonya di sampul album lagunya yang terbaru, ‘Panggayo’.

Saya menggeleng, melebarkan bibir. “Tidak.”

“Sori. Kami sedang audisi suara untuk konser lusa.”

“Sori. Saya mengganggu!”

Kim Yong Hyung menyergah, sontak merangkul tangan saya seolah menggandeng. “Oh, no! Tidak!”

“Kamu yakin saya tidak mengganggu?”

“Tentu saja. Kalau tidak, mana mungkin Si Dong Goek itu berbaik hati ngasih izin.”

“Dong Goek?”

“Dia manajer konser tur kami.”

“Oh.”

“Hei, kamu sendiri?”

“He-eh.”

“Where your girlfriend?”

“Not yet.”

“Not yet?! Hm, you must be lie! I don’t believe it.”

Saya tersenyum. Dia masih menggandeng tangan saya. Menarik separo menyeret duduk kembali di sofa tunggu studio setelah membungkuk berterima kasih pada gadis resepsionis di seberang meja.

“Ron, jangan bilang kalau stock gadis-gadis Jakarta habis diboyong orang!”

“Saya pikir kamu sudah berubah, Hyung!”

“Lho?”

“Ternyata, meski telah menjadi selebritis kondang, kamu tetap saja seperti dulu.”

“What you meant, heh?”

“Kamu masih saja sejutek dulu.”

“Hei, asal kamu ya?!”

Kim Yong Hyung masih saja tetap seperti yang dulu. Dia mencubit paha saya keras. Persis kebiasaannya pada saat kami masih bersama di SMP. Empat tahun lalu dia mengikuti keluarganya ke Indonesia. Waktu itu ayahnya ditugaskan mengepalai sebuah perusahaan elektronik Samsung di Jakarta. Lalu dia pun menjalani kehidupannya sebagai siswa di sekolah regular. Saya tidak tahu alasan apa yang melatarbelakangi dia memilih sekolah biasa, bukannya sekolah khusus warga asing.

Tidak butuh waktu lama untuk menyelami dasar hatinya. Kebersahajaan seorang gadis yang mapan dalam kesederhanaan setiap tindaknya, telah membakar hati saya dalam gelora renjana. Sayang maksud tak sampai. Saya terlalu kerdil untuk mencetuskan tiga kata.

Hanya tiga kata!

Namun semuanya menjauh digebah keraguan yang babur. Yang pada akhirnya saya insyafi sebagai penyesalan ketika semuanya baur tak tergapai tangan. Dia kembali ke Seoul, dan menutup tirai manis persahabatan kami dalam lembar-lembar kenangan semata.

Seperti merpati yang kembali. Tiba-tiba dia hadir, mengepakkan sepasang sayapnya yang putih ke angkasa dengan sederet daftar keberhasilan. Saya nyaris pangling ketika gadis bermata sipit itu menghadirkan aurora. Sesuatu yang tidak pernah melintas terlebih menghuni memori dalam benak saya selama bersamanya di Jakarta dulu. Sampai sampul album lagu terbarunya itu menegaskan segalanya. Bahwa dia memang Kim Yong Hyung. Gadis yang pernah saya akrabi dengan seribu kenangan tak terlupa.

“Ronny Panggabean!”

“Eh, uh….”

Saya terkesiap. Entah berapa lama mematung dalam buaian alur kenangan silam. Dia memandangi saya lamat, mengurai simpul bibirnya membentuk senyum.

“Kamu bukan nyari saya untuk menemani kamu melamun, kan?”

“Sure. Eh, kamu ada waktu, kan?”

“Yap.”

“Aku traktir kamu makan.”

Saya tarik tangannya, keluar dari MTV Singapore Office di Temasek Tower, Shenton Way dengan langkah separo menyeret. Dia manut seperti pitik.

Comment