Ornamen Musim Salju

Foto: Istimewa

Ornamen Musim Salju
Oleh Ryana Mustamin

MEDIAWARTA.COM – Menjelang musim semi, gurat matahari masih kerap hanya nampak di kaki lazuardi, berselingkuh di antara bongkahan salju yang mulai meleleh. Kukuh telah menyelesaikan bacaannya yang kesekian; A Portrait of the Artist as Young Man.

Diletakkannya novel Sheli itu di meja. la menguap sebentar, lantas mengalihkan tatapnya ke kanvas gadis itu di sampingnya. Lukisan yang hampir jadi. Seorang bocah perempuan setengah telanjang berselonjor istirahat, lunglai di bawah punjung anggur, sementara tandan buah itu menggelayut rendah di seputarnya, siap dipetik andai saja bocah itu bisa terjaga sebentar.

Luar biasa, Kukuh memuji dalam hati. Bagaimana mungkin sebuah karya seekspresif itu bisa lahir dari sapuan tangan yang setengah beku oleh dingin. Tapi Kukuh mengulum senyum di bibir.

“Kenapa?” Sheli memiringkan kepala.

Lelaki itu masih tersenyum samar. Lalu, “Kau kangen Rhein,” dagunya menunjuk lukisan anggur. Dilepaskannya mantel. Hangat menyergapnya. “Hanya Rhein?” Senyumnya melebar. “Aku curiga kau mulai lupa Indonesia. Makassar.”

Sheli meloloskan batang kuas dari jemarinya. Sambil menyembunyikan ringisan, dipungutnya tube-tube cat yang berserakan. Makassar, pikirnya ngilu. Tanah Anging Mamiri yang memekatkan kalbu. Di sana aku pernah menganyam ilusi, menisik penantian untuk sebuah mimpi masa depan, memelihara hati untuk seraut wajah terkasih. Dan dengan rela membiarkan hari demi hari melintas lalu, atas nama cinta dan kesetiaan. Dan dia, Bim, lelaki dengan mata hazel cokelat….

Ada bulir keringat dingin yang menempel di pelipisnya. Kukuh mengawasinya dengan ekor matanya, lebih saksama. Lalu pandangannya jatuh ke sepasang mata kecil hitam di depannya, ke leretan tabir yang bersemayam diam-diam di situ. Mata kecil murung di gerbang Holstein, gumamnya di hati.

Concordie domi forix pax. Kerukunan di dalam, kedamaian di luar. Demikian bunyi semboyan di gerbang Kota Hansa Lubeck itu. Pekan lalu, mereka sama termangu memandangnya. Kukuh dengan benak yang mengembara ke lembaran uang 50 Mark, dan tersenyum di hati menemui kesamaan gerbang di depannya dan gambar yang tertera di kertas bernilai itu. Sementara Sheli, dalam diam menyelam ke kedalaman maknanya. Damai ada di mana-mana, kesahnya di batin. Dan di kota ini, akankah ia ramah kepadaku?

Sheli menghela napas tertahan. Kukuh menangkap bias ragu di sebelahnya, antara optimisme dan pesimisme. la menoleh cepat, dan menampak sepasang pupil mata sehitam miliknya. Gadis Indones….

“Ada apa?” Suaranya mendahului benaknya. Setengah surprais, setengah ragu.

“A-da… apa?” Mata Sheli yang kecil bagus membulat sempurna. Suara yang tak dikenalnya. Namun karib. Mendengar pertanyaan itu seolah menemukan butir intan setelah berbulan-bulan mendulang dengan hasil nihil. Kupingnya terlanjur akrab mendengar orang-orang di sekitarnya berbahasa Jerman.

“Hei, Indonesia?” Sheli tak pandai menyembunyikan keterkejutan.

Tawa Kukuh menebar. “Jadi aku tak salah?” Tangannya terulur hangat.

Comment