Senja itu, tanpa Erina yang entah menghilang kemana, tapi saya yakin dia sudah kembali ke Hotel Ibis Grand Place, berdua kami menyusuri jalan di Rue des Bouchers, di mana jajaran restoran makanan laut di daerah Saint Hubert Royal Galleries itu menggugus menggiurkan. Meneteskan liur kami.
“Kamu pernah cobain Mosselen, Rio?”
“Apa itu?”
“Kerang khas Belgia.”
“Belum pernah.”
“Kita cobain, yuk. Don’t worry. Aku yang traktir. Kamu kan tamuku.”
Gadis itu menarik tangan saya setengah menyeret. Dia masuk ke salah satu restoran yang sudah mengaroma dengan wangi makanan. Perut saya tiba-tiba keroncongan.
“She’s your girlfriend?”
“Just a friend.”
“Don’t be lie.”
Jennifer mendesak saya di meja makan. Dia ingin tahu soal hubungan saya dengan Erina. Dia mengunyah steak kerang dengan lahap.
“Aku dan dia satu sekolah. Kami redaktur mading dan majalah sekolah di Jakarta.”
“Aku sudah tahu. Kamu kan sudah menceritakannya kemarin.”
“So, what you meant?”
“She’s look very jealous. Pasti bukan teman biasa kalau dia bersikap antipati begitu kepadaku.”
“Untuk apa aku bohong sih, Jenny?”
“Yeah, I know. Tapi, dia kelihatan….”
“Dia memang begitu, Jenny. Rada reseh. Jangan diambil hati.”
“Tapi, aku tidak enak hati. Jangan-jangan aku nanti dianggap orang ketiga perusak hubungan kalian.”
“Oh, my God. You must believe me, Jenny. How many times….”
“Okay. Don’t be angry, Rio. Aku kan cuma sekadar bertanya. Kalau memang tidak betul begitu, ya syukurlah. Berarti aku bisa tenang mengajakmu ‘date’.”
Date?! Hah! Hal itu merupakan acara perkenalan untuk membina keakraban pertemanan di lingkungan remaja Barat. Saya sedikit risih dengan kalimat itu. Sebab, kalau di Indonesia itu merupakan ritual berpacaran, kencan. Tapi saya akhirnya mengangguk menanggapi.
Nyaris sampai tengah malam kami menghabiskan waktu di jalan-jalan kota tua Brussels. Menyaksikan bangunan gotik, gaya arsitektur seni pahat dan lukis pada abad XII sampai dengan XVI di Eropa, yang menyebar di sepanjang sudut-sudut kota tua ini. Beberapa saat berhenti di Monumen Mannequin-pis, sebuah patung tembaga berbentuk bocah lelaki yang sedang ‘pipis’.
“Sejarah patung bocah ini unik sekali lho, Rio.”
“Oya?”
“Pokoknya unik, deh.”
“Uniknya karena apa?”
Saya memandang patung bocah lelaki setinggi kurang lebih tiga puluh sentimeter itu, yang sepanjang hari mengucurkan air mancur dari kemaluannya persis seperti sedang ‘pipis’.
“Begini. Konon, pada waktu Perang Dunia Pertama, persis di Monumen Mannequin-pis ini pernah dipasangi bom berkekuatan ledak besar oleh pasukan musuh untuk menghancurkan pusat Kota Brussels. Saat sumbu bom itu sudah disulut, tiba-tiba ada seorang anak kecil yang mengencingi sumbu bom tersebut. Akhirnya bom itu tidak jadi meledak, dan Brussels selamat dari kehancuran. Nah, untuk mengenang jasa bocah lelaki tidak dikenal itu, penduduk Kota Brussels mendirikan monumen ini. Namanya, Mannequin-pis atau ‘Bocah yang Sedang Kencing’. Tapi, itu legenda. Entah benar atau tidaknya, aku tidak mengerti.”
Kami berputar-putar sampai lelah. Saya pamit setelah jam di pergelangan saya sudah menunjuk angka sebelas. Dia menolak untuk saya antar ke kediamannya di jantung kota, Avenue Louise. Saya cegat taksi menuju Hotel Ibis Grand Place setelah melambai pada gadis berambut pirang itu.
Comment