“Harfiahnya, Chao Phraya berarti Sungai Raja. Buktinya, Chao Phraya ini memang merupakan sungai utama di Thailand. Hm, kalau suatu saat kamu datang bersama keluarga ke Bangkok lagi, jangan sampai lupa bertamasya ke sini. Selain naik barkas, kamu juga bisa naik taksi air berupa perahu atau sampan kecil bermotor mengarungi sungai ini.”
Odija mulai menjalankan tugasnya sebagai guide pribadi Erika. Sejak berkenalan di sekolah dan pas tinggal sekamar dengannya di asrama, gadis berparas manis itu memang kelihatan sangat akrab dengan gadis Batak asal Jakarta itu.
“Selain itu, kamu bisa menyinggahi ratusan wat (6) yang tersebar di pinggir-pinggir sungai. Masing-masing wat mempunyai keunikan arsitektur tersendiri. Eh, itu Wat Arun yang elok,” timpal Odina dengan bersemangat sembari menunjuk sebuah menara vihara, persis di bagian belakang Istana Raja ‘Grand Palace’. “Turis bule sih menyebutnya ‘Temple of Dawn’. Keren, kan?”
“Besar sekali, ya?”
“Tentu saja. Wat Arun kan merupakan vihara yang sering dikunjungi Raja Bhumibol dan Putri Sirkit serta keluarga besar Kerajaan Thai. Eh, kamu juga bisa menikmati buah-buahan segar yang dijual di pasar terapung di sini. Hei, kamu sudah pernah makan durian bangkok tidak?”
Odina menambahi dengan nada bangga tentang tempat dan hasil bumi wisata di daerahnya ketika barkas yang mereka tumpangi perlahan menyusuri hamparan air sungai yang tenang. Kehidupan desa-desa yang mereka lalui tampak dengan jelas dari tempat mereka bersantai di geladak barkas.
Bau masakan dari rumah-rumah panggung mengaroma sampai ke barkas. Erika sempat menghirup bau wangi makanan. Asap nasi uduk sesekali menusuk hidungnya. Iseng pula dia menghitung jumlah vihara yang mereka lalui. Banyak sekali. Populasinya mirip dengan masjid serta musala di Indonesia, tebaknya. Anak-anak mandi telanjang dan bermain di tepi sungai. Sementara ibu-ibu mereka mencuci pakaian dengan hanya mengenakan bra dan sarung.
“Eh, tahu tidak nama barkas atau kapal api kecil ini, Erika?”
“Apa?” Erika berdiri di batas pagar kayu barkas, berusaha melihat lambung barkas.
“Namanya, ‘Dhamma Palakka Song’. Dhamma dalam kepercayaan buddhisme Thailand berarti ‘Kebenaran’. Sementara Palakka berarti ‘Pengawal’. Jadi artinya, ‘Pengawal Kebenaran’.”
“Kalau Song-nya, apa dong?”
“Oh, itu hanya angka. Song artinya dua. Berarti barkas ini ada beberapa unit. Barkas yang kita tumpangi ini adalah unit kedua. Jadi, ada Dhamma Palakka Satu serta ada Dhamma Palakka Dua, dan seterusnya.”
“Oh, begitu, ya?”
“Eh, tapi dalam bahasa Inggris nama barkas ini boleh juga diartikan sebagai ‘Nyanyian Pengawal Kebenaran’. Karena song dalam bahasa Inggris kan berarti lagu atau nyanyian.”
“Unik juga ya, namanya?”
“Ya. ‘Dhamma Palakka Song’ sebetulnya merupakan barkas yang biasa dipakai untuk mengangkut gula atau beras karung dari pedalaman Thailand ke pusat-pusat pemasaran di kota. Barkas-barkas gula atau beras karung semacam ini masih ada di sepanjang Chao Phraya, dan masih merupakan wahana transportasi tradisional di Thailand. ‘Dhamma Palakka Song’ ini sendiri sudah direnovasi dengan interior yang mewah. Kamu bisa lihat sendiri, kan?”
Erika memandang barkas yang mereka tumpangi dengan rasa kagum. Seperti layaknya kapal pesiar, dilihatnya interior barkas yang terbuat dari kayu jati dengan paduan lapisan enamel. Semuanya berkesan mewah. Ruang-ruang tidurnya yang tidak seberapa besar, didesain sedemikian rupa hingga terasa lapang. Geladaknya yang luas menjadi ruang makan dan ruang duduk para penumpang. Sangat menyenangkan. Sebagian tertutup atap, sebagian lagi terbuka agar para penumpang dapat mandi sinar matahari menjemur diri.
Perlahan barkas memasuki kota lama Ayutthaya, tujuh puluh delapan kilometer di utara Bangkok tepat ketika sebuah jeritan keras terdengar dari geladak barkas disusul dengan suara deburan keras di air sungai.
“O-Odiiinaaa…!”
Odija terkulai lemas dengan wajah pucat pasi. Erika menggigit bibirnya nyaris berdarah. Entah mengapa Odina dapat tercebur ke dalam sungai. Juru kemudi kontan melompat ke dalam sungai untuk menolongnya. Namun Odina tidak berhasil diselamatkan. Kepalanya membentur keras lambung barkas sebelum jatuh ke air sungai.
Comment