Kamu pun pernah bercerita bahwa setiap pagi, dengan setia, Ananda akan membangunkan tidurmu yang lelap dengan menarik kumis atau bulu betismu dengan gemas. Kita pun kembali tertawa bersama mendengarnya. Aku senang mendengarmu tertawa begitu lepas dan renyah.
Kamu sangat menyayangi Ananda, yang sering kali aku tangkap dari sorot mata elangmumu yang berpijar setiap kamu bercerita tentangnya. Sempat terbersit rasa cemburu di hatiku namun segera kutepis jauh-jauh, karena dia adalah buah hati tercintamu. Tapi tak urung, kesedihan terkadang menyeruak dalam batinku, bahwa sesungguhnya, tidak hanya aku yang menempati sisi relung hatimu. Ada senyum polos Ananda di sana yang membuatmu senantiasa ceria meniti hari. Yang paling membuatku kian nelangsa adalah, aku ingin kisah yang kamu tuturkan adalah tentang tingkah lucu anak kita, yang lahir dari kehangatan rahimku, buah kasih kita berdua.
Kita memang telah siap menempuh segala risiko dari hubungan rahasia kita. Namun dari lubuk hatiku paling dalam, setelah pertemuan dengan keluargamu kemarin, aku tak kuasa untuk segera menetapkan hati berpisah darimu, meski kepedihan melanda jiwaku saat ini.
Cinta memang tidak dibangun untuk membuat rasa kehilangan, tapi pada akhirnya aku menyadari cinta antara kita mempunyai batas tepiannya sendiri. Sesuatu yang, sesungguhnya aku sadari akan terjadi sejak awal, cepat atau lambat, namun akhirnya kuingkari saat pesonamu membetotku dan membawaku ke dalam pusaran cintamu yang melenakan.
Aku akan simpan rapat-rapat kenangan manis di antara kita dalam bilik hatiku, dan kemudian membiarkannya mengendap dalam senyap.
Kekasihku, mulai saat ini, cobalah belajar melupakanku sebagaimana saat ini aku telah mengunci rapat-rapat pintu hatiku untukmu. Aku tetap menyimpan puisi-puisi cintamu kepadaku sebagai monumen paling berharga tentangmu pada tempat yang aku harapkan tidak akan aku buka lagi sampai kapan pun.
Aku pun tidak akan me-rebonding rambutku seperti pintamu, agar aku senantiasa merasakan telusur jarimu yang membelai mesra ikal rambutku, memilinnya perlahan kemudian meresapinya dalam-dalam pada setiap desah napasku setiap kali ritual percintaan kita usai. Jangan pernah mencoba untuk menghubungiku dengan cara atau dalih apapun, sebab semuanya akan berakhir sia-sia.
Aku ingin kamu menghormati pilihan yang telah kuambil dan juga tak akan kusesali, atas nama bara api cinta yang telah kita tumbuh-suburkan dalam dada kita masing-masing selama ini. Yang telah kita titipkan lewat debur ombak yang mengalun seperti ikal rambutku, yang berlalu bersama desau angin senja. Tapi kekasihku, biarkan aku mencintaimu, dalam sunyi.
Biodata Penulis:
Amril Taufik Gobel, lahir di Makassar, 9 April 1970. Menamatkan kuliah di Fakultas Teknik Jurusan Mesin Universitas Hasanuddin (Unhas) pada 1994. Semasa kuliah, sejak 1991-1998, sering menulis cerpen dan artikel untuk media cetak lokal di Makassar (Harian Fajar dan Pedoman Rakyat), maupun media cetak nasional (Femina, Harian Republika, Harian Suara Pembaruan). Dua antologi cerpennya yang berjudul “Seorang Pelacur dan Sopir Taksi” dan “Cinta dalam Sepiring Kangkung”, masing-masing telah diadaptasi menjadi sinetron Pintu Hidayah di RCTI. Sementara cerpen lain, “Biarkan Aku Mencintaimu dalam Sunyi”, “Email Terbuka Seorang Selingkuhan”, dan “Jatuh Cinta di Kilometer Dua Puluh Tiga” dimuat dalam buku antologi cerpen komunitas blogfam yang diterbitkan penerbit Gradien pada akhir 2006.
Comment