Aku tahu kamu memandang kecewa menghadapi kenyataan. Mungkin kau ‘sakit’. Kau memandang duniamu hanya hitam dan putih, tentu oleh suatu sebab yang tidak sederhana.
Di senja yang lain, kutemui kamu sedang melukis di tempat yang sama. Lukisanmu senada, dan membuatku bertanya-tanya. “Kau begitu menyukai langit senja,” usikku.
Tanpa merasa terganggu, kau menoleh kepadaku. Dalam kanvasmu kulihat ada sapuan nuansa hitam di bagian langit. Seolah-olah kau tidak jujur merekam objek.
“Lukisan senjamu….” Kembali aku tak berhasil mengendalikan kesabaran. “Alangkah kelam.”
Kau agak terperanjat, namun kemudian tersenyum. “Ini bukan lukisan senja. Ini lukisan kehidupan!”
Ada dua kalimat yang ingin kulontarkan. Pertama: kamu sudah mampu melukis di sanggar, jauh dari objek. Tapi aku memilih yang kedua: “Kamu memiliki masa lalu yang muram?”
“Aku….” Matamu sedikit panik. “Aku tidak berkata begitu!” Tertangkap nada penyesalan. “Aku hanya mengibaratkan kanvas sebagai sebuah kehidupan. Kenyataan yang mengikuti kemana aku melangkah.”
“Itu yang membawamu ke pantai ini, bukan?” Aku memojokkanmu.
“Kau….” Suara dan matamu basah. Kau berbalik begitu cepat dengan bahu yang terguncang.
“Tunggu!” Aku melompat menggapai lenganmu. “Maafkan kelancanganku.”
Bibirmu bergerak-gerak, namun tak sepatah kata pun terucap. Aku menyaksikannya dengan lara, turut merasa tersiksa. Sejenak kau menyapu wajahku dengan tatapan yang sulit kupahami. “Terima kasih. Kau telah sudi mendengar cerita tentang kampung nelayan ini.”
Kau membereskan kanvas dan cat-cat minyakmu. Memasukkannya ke dalam kotak, lantas pergi meninggalkanku. Aku tergugu, justru karena telah mendengar sedikit perihal dirimu.
Tersisa sesal di dada lantaran pada hari-hari kemudian tak lagi kudapatkan kamu melukis di pesisir ini. Terus terang aku menemukan inti teater dari pertemuan kita.
Bukan di sanggar Kak Yudhis. Rasanya aku kepergok sebuah puisi yang sukar, dan apresiasiku jadi buntu. Selanjutnya, aku bahkan kehilangan puisi kesayangan itu. Dirimu!
Menantimu di tempat ini, dalam musik laut tak henti-henti, hatiku bagai digasak badai. Nyeri sekali. Makin hari rasa kehilanganku bertambah. Harapanku menjumpai seorang gadis duduk menggambar langit senja, tak kunjung nyata. Barangkali kau sakit. Atau marah? Sementara, aku tak berani mencarimu ke deretan rumah megah itu.
Hari-hari menunggu itu akhirnya mencapai batas sabarku. Kenangan pertemuan denganmu mulai kulupakan. Hingga suatu hari, ketika kusampaikan surat ke rumah Tante Mei, tiga tahun sejak kukenal wajahmu.
“Kau…?” Bulat matamu bagai hendak terlompat. Tapi aku lupa kepadamu. Kudengar suaramu kecewa. “Kau tidak ingat kepadaku?”
Bagaimana aku bisa mengingatmu jika hanya dua kali bertemu, juga tidak pernah kutahu namamu? Tapi kau mengingatku dengan baik!
“Rasanya aku pernah melihatmu. Tapi di mana?” tanyaku jujur.
Kau tersenyum. Begitu anggun, dan mau mengerti. “Pernah melihat lukisan kehidupan?”
Comment