Cinta Telah Berdebu

Ya, Tuhan! Tak sengaja aku terpekik oleh ingatan yang lengkap. Garis-garis wajah serta jemari yang dulu selalu kulihat menggenggam batang kuas, membangkitkan kenangan dengan utuh. Ah, dulu kamu lebih temperamental.

“Kenapa tidak melukis lagi?” tanyaku kecewa.

“Sebab aku merasa tidak berbakat. Tiga tahun yang lalu kita masih sama-sama kanak-kanak. Penilaianmu hanya untuk menghiburku.”

Aku hendak membantah, tapi matamu yang tajam menahanku.

“Aku punya bukti!” katamu seraya beranjak ke dalam.

Kau bawa setumpuk lukisan dari kamarmu dan kau pamerkan kepadaku. Senja Satu sampai Senja Delapan. Katamu, itu lukisan kehidupan!

“Aku tak bisa menggambar objek lain.”

“Kau tidak mencobanya.”

“Sudah.”

“Mana hasilnya?”

“Kalau berhasil, tentu aku tak menolak kau sebut berbakat.”

“Apa yang kau gambar?”

“Manusia.”

“O,” aku mengangguk. “Bocah-bocah nelayan maksudmu?”

Kamu menggeleng dan berpaling. “Kamu!”

“Aku?!” Seluruh isi dadaku rasanya ikut terhampar keluar.

Kau tersenyum, tenang luar biasa. Sementara aku kalang kabut tapi tak bisa mengatakan apa-apa. Tiga tahun tak melihatmu, membuatku kehilangan banyak. Kau jadi lebih dewasa dan pintar menyimpan gejolak. Tidak gegabah, tidak meledak-ledak. Kau semakin matang, terutama dalam mengungkapkan cinta. Siapa yang telah mengajarmu?

“Barangkali pengalaman, Raga.” Tante Mei, adik ibumu, mengatakan kepadaku ketika aku gagal mengorek cerita dari mulutmu. Kamu terlampau tegar untuk membagi masa lalumu kepada orang lain. Bahkan, tidak kepadaku: kekasihmu!

“Sasha adalah anak hempasan badai,” ujar Tante Mei. “Pada usia dua belas tahun, orang tuanya bercerai. Enam tahun setelah itu pacarnya meninggal karena kecelakaan.”

Dia pindah kemari ketika sudah benar-benar benci terhadap suasana rumahnya. Dia anak tunggal yang malang….”

Daun-daun kering luruh dari ranting di depan jendela. Aku mengawasinya diam-diam. Kalau saja tidak memiliki kekuatan hati, nasibmu mirip daun yang gugur. Melayang tak tentu arah.

“Sasha berusaha melupakan peristiwa pahit itu dengan menyibukkan diri di kampus. Menjenguk kampung nelayan, bermain dengan anak-anak gelandangan. Mengunjungi panti wredha atau melukis di kamarnya. Tapi Raga, tak semua orang pintar menghapus jejak traumatiknya, bukan?”

Comment