Cinta Telah Berdebu

Pendapat sahabat ibuku itu benar. Kewajibanku, tentu saja, menyediakan sekeranjang pengertian. Dan merebutmu dari hari-hari bersama kawan-kawan kecilmu. Karena aku mencintaimu.

Aku ingin berbuat apa saja demi kau. Tapi cinta bukan hanya dirasakan, melainkan juga dimanifestasikan. Aku ingin kita bisa saling mengerti. Aku ingin kamu membutuhkanku, seperti aku membutuhkanmu. Tapi, bagaimana mungkin bila kau mampu mengatasi segalanya? Kau hindari bantuan orang lain hanya untuk mendapat pengakuan bahwa prahara tak membuatmu terbanting.

Berada di dekatmu, aku tak ubahnya anak kecil. Kau terlalu kukuh dan karib dengan kesendirian. Sehingga seorang Raga tak lebih dari boneka, hanya teman bercakap sewaktu kau lepas dari kepungan bocah-bocah pesisir. Dua tahun percintaan kita berlangsung dengan aneh.

Salahkah jika aku mengungsikan kecewaku kepada makhluk mungil yang tidak menganggapku patung? Di depan gadis manja yang mudah merengek, aku menjadi laki-laki sejati. Ternyata aku membutuhkan seekor burung yang lincah, genit, dan cengeng….

“Maaf, Sasha, semalam aku absen. Aku menemani Aline mencari perlengkapan busana untuk pementasan kami minggu depan.” Aku meneleponmu Minggu pagi. “Kamu marah?”

Tawamu yang lunak terdengar di seberang. “Raga, sebaiknya jangan ganggu konsentrasimu dengan berpikir macam-macam. Pementasanmu sudah dekat….”

Untuk kesekian kalinya aku tidak berakhir pekan di beranda rumahmu. Dan aku tetap gagal membuatmu marah, cemburu, atau merajuk. Hatimu terbuat dari pualam!

Kesabaran habis. Semula aku ragu akan kesungguhanmu ingin menata langkah yang sama bersamaku. Lambat laun aku merasa pasti: tak ada rongga hatimu yang patut kuhuni.

Apalagi tatkala tangan yang menyalamiku pertama kali seusai pagelaran: bukan tanganmu!

“Selamat, Raga! Gelar The Best Actor Festival Teater tahun ini ada di tanganmu!”

Aline menatapku dengan sepasang mata berbinar.

O, burung prenjak ini sangat memperhatikan aku. Dia laksana oase manakala sedang kulintasi gurun. Kuraih kepalanya, kucium keningnya di balik panggung. Dan aku mendengar suaramu.

“Raga.”

Aku dan Aline menoleh bersamaan dengan sejumlah kaget. Ternyata hanya persoalan waktu.

Kau mencari ke belakang layar tentu hendak memberiku selamat. Dengan ketenangan menakjubkan kau tersenyum, mengulurkan tangan. “Proficiat!”

Suaramu tidak menyiratkan kemarahan, sementara aku hampir gila mendengarnya. Kau memandang Aline dengan hangat. “Ini gadismu, Raga?”

“Aline,” Aline menyambut jabatan tanganmu.

“Aku Sasha, sahabat Raga.” Kamu tersenyum manis sekali. Aku merasa pita suaraku tiba-tiba tak berfungsi. “Raga sering cerita tentang kamu.” Kau sentuh pipi Aline seperti seorang kakak terhadap adiknya. “Jaga Raga baik-baik. Dia nakal, tapi hatinya baik.” Kau tertawa lembut. “Nah, aku pergi dulu.”

Comment