Seorang Pelacur dan Sopir Taksi

Foto: bfi.org.uk

Ini bagian dari tugas, demikian saya mencari alasan pembenarannya. Persetan dengan semua anggapan sinis tentang saya. Bagi saya, saya tetap memiliki hak untuk menentukan sikap dan melakukan apa yang terbaik untuk saya. Prinsip sederhana tapi logis.

Sudah empat bulan saya melakukan tugas rutin ini. Saya sudah berusaha menghilangkan beban psikologis apapun termasuk perasaan cinta. Saya memang tidak dapat mengingkari kata hati, Susan memang cantik dan saya telah jatuh cinta pada pandangan pertama.

Dengan rambut sebahu, wajah oval proporsional, hidung bangir, kulit putih, dan postur tubuh ramping semampai, Susan tampil mempesona mata setiap pria yang melihatnya. Termasuk saya. Sebagai lelaki bujangan dan normal, saya tidak dapat menepis getar-getar aneh saat wangi parfumnya yang khas menyerbu hidung ketika ia masuk ke taksi saya. Tapi saya berusaha menekan perasaan itu sekuat-kuatnya.

Terlebih, ketika muncul rasa cemburu, saat ia digandeng oom-oom kaya yang lebih pantas menjadi ayahnya. Saya seharusnya harus menempatkan diri pada posisi yang benar: ia adalah pelanggan dan saya hanya sopir taksi. Saya mematuhi “rambu-rambu” itu secara konsisten.

Percakapan kami pun, baik ketika pergi maupun pulang, biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa. Bahkan nyaris bersifat rutin. Saya berusaha menjaga jarak dengan Susan agar tidak terlibat lebih jauh ke masalah yang sifatnya terlalu pribadi. Namun belakangan ini sudah ada sedikit “peningkatan kualitas pembicaraan”. Tidak hanya sekadar, “Mau kemana?” atau “Jam berapa mau dijemput?”, dan sebagainya.

Susan mulai menanyakan latar belakang pribadi saya hingga menanyakan ada berapa jumlah penumpang di taksi saya untuk hari ini. Saya gembira pada perkembangan menarik ini. Mulanya, saya agak rikuh tapi perlahan saya mulai dapat menyesuaikan diri dan menjadi pembicara ataupun pendengar yang baik.

Hubungan emosional kami pun berlangsung hangat. Susan pun tak canggung-canggung mengungkap riwayat hidupnya kepada saya. Ia ternyata produk keluarga broken home. Ketika ayah dan ibunya bercerai, ia minggat. Ia tidak tahan dan prihatin dengan kondisi seperti itu. Ia pun tidak peduli pada siapapun, termasuk kakak maupun adiknya.

Saya harus terus hidup dan berjuang, kata Susan menetapkan hati. Tanpa disadarinya, ia terjerumus ke lembah nista. Kehidupan malam dan hingar bingar pesta, sepertinya memberikan keleluasaan baru dan ia bagai memperoleh jati diri di sana. Susan akhirnya jadi primadona di sebuah diskotik ternama yang tak lain sebagai kedok ajang prostitusi kelas atas.

Nama Susan melambung tinggi sejak itu. Hampir semua lelaki yang mampir di diskotik itu siap melakukan apapun asal Susan mau berkencan dengan mereka. Pada akhirnya, Susan kemudian menjadi “istri piaraan” seorang direktur di kota ini, dengan tip dan bayaran yang sangat besar plus rumah mewah komplet segala isinya.

Sang Direktur hanya datang pada waktu-waktu tertentu saja untuk menemui Susan. Meskipun begitu, profesinya tak juga ditinggalkan. Ia menjadi wanita panggilan untuk “kalangan elit”.

“Saya menyukai pekerjaan ini,” katanya suatu ketika. Suaranya terdengar serak, terkesan dipaksakan.

Comment